Warta

Seminar dan Bedah Buku Pendidikan

NU Online  ·  Jumat, 10 Juni 2011 | 08:41 WIB

Semarang, NU Online
Lembaga pendidikan Islam termasuk madrasah masih sering dianggap miring oleh sebagian kalangan. Terutama aspek manajemen yang dinilai masih asal-asalan. Juga karena banyak yang pengelolaannya secara “kekeluargaan” alias tidak profesional.

Hal ini tentu disayangkan, sebab kini banyak lembaga pendidikan Islam yang menghasilkan lulusan berkualitas dan unggul di pentas dunia. Termasuk di lapangan kera.
<>
Demikian disampaikan Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Tulungagung Prof Dr Mujamil Qomar dalam seminar nasional dan bedah buku bertema “Manajamen Pendidikan Islam” yang diadakan UPT Perpustakaan Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) di Lantai II gedungnya, Rabu (8/6) lalu.

Seminar dihadiri aktivis mahasiswa, utusan lembaga pendidikan, para guru dan dosen, serta beberapa murid lembaga pendidikan Islam.

“Persoalan kurang bermutunya lembaga pendidikan Islam jangan digeneralisasi. Memang ada beberapa yang mutunya belum sesuai standar. Dan kondisi itu serupa dengan lembaga pendidikan umum,” tuturnya.

Menurut Mujamil, jika anggapan buruk itu terus diembuskan, tentu tidak adil. Dan kasihan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang sudah maju. Pengelola lembaga yang belum maju bisa nglokro atau kurang bergairah meningkatkan kualitas lembaganya.

Karena itu ia meminta semua pihak untuk memahami bahwa lembaga pendidikan dihadapkan pada banyak kendala. Diantaranya, kata dia,  murid atau calon peserta didiknya mayoritas cukup lemah potensi intelektualnya. Itu karena  kebanyakan lembaga pendidikan Islam, lebih-lebih madrasah, menjalankan misi jihad fi sabulilah dengan dakwah. Yakni menampung anak-anak miskin di desa maupun pinggiran kota, dengan biaya yang murah bahkan gratis.

“Kebanyakan lembaga pendidikan Islam didedikasikan untuk umat kalangan bawah. Para gurunya banyak yang ikhlas lillahi ta’ala. Pendiri ataupun pengelolanya ingin beramal jariyah. Jadi wajar kalau potensi muridnya dari kalangan masyarakat bawah. Tentu ini harus dimengertji jika menjadi salah satu kendala,” tuturnya.

Lebih dari itu, lanjut Mujamil, ada persoalan yang sangat serius menimpa lembaga pendidikan Islam. Yaitu diskriminasi yang dilakukan pemerintah. Soal anggaran, pemerintah selalu membantu sekolah negeri dan favorit, menganaktirikan sekolah swasta, terutama yang berbasis agama (Islam).

Padahal, katanya, amanat UU Sisdiknas jelas mewajibkan pemerintah membiayai seluruh pendidikan, baik negeri maupun swasta.  Masalah itu, masih pula ditambah egosentrisme lembaga pemerintah. Kementrian Pendidikan seolah abai lembaga pada pendidikan  Islam, sementara Kementrian Agama tidak berbuat banyak untuk membina dan mengembangkan. Alasan klise adalah batasan aturan dan terbatasnya anggaran.

“Banyak pula alasan pemerintah tidak membantu lembaga pendidikan. Misalnya mengatakan, itu lembaga milik perorangan, berafiliasi partai dan sebagainya. Jadi ada pandangan miring bernuansa politis. Ini harus dihilangkan,” ujarnya.

Sementara Kepala Lembaga Kajian dan Penerapan Nilai-nilai Islam Unissula Khoirul Anwar MPd memaparkan, anggapan miring terhadap kualitas maupun pengelolaan lembaga pendidikan Islam tak boleh terus ada. Menjadi kewajiban seluruh stakeholder pendidikan Islam untuk menghapus anggapan itu.

Salah satunya dan yang utama, kata, dia, meningkatkan kualitas pendidikannya dan menata manajemennya secara baik. Ciri khas pengajaran agama juga mesti ditonjolkan agar para lulusannya jadi panutan.

“Lembaga pendidikan Islam perlu menghapus anggapan miring itu dengan efektivitas serta efisiensi dengan keunggulan nilai-nilai agama,” tutur Sekretaris Jurusan Tarbiyah Fakultas Agama Islam Unissula ini.

Redaktur    : Mukafi Niam
Kontributor: Muhammad Ichwan