Sebagian Warga Bondowoso Sudah Merayakan "Lebaran Lontong"
NU Online · Senin, 5 September 2011 | 09:11 WIB
Bondowoso, NU Online
Sebagian warga di Kabupaten Bondowoso, Jatim, sudah merayakan "Telasan Lontong" atau Lebaran Lontong, yang di tempat lain dikenal sebagai Lebaran Ketupat.
Suhartini, warga Tenggarang, Senin sudah memasak lontong lengkap dengan lauknya untuk dibagi-bagikan kepada sanak saudara, tetangga serta dinikmati bersama dengan keluarganya dalam suasana Lebaran yang di masyarakat Madura dikenal dengan sebutan "Telasan".
<>
"Saya membuat lontong duluan agar saat Lebaran Lontong, makanan ini tidak menumpuk. Kalau membuat lontong sekarang, pasti dimakan karena belum banyak tetangga dan keluarga yang membuat makanan ini," katanya beralasan.
Winda, warga Desa Pejaten, malah telah membuat lontong pada Minggu (4/9) dengan alasan yang sama. Ia beranggapan, kalau membuat lontong bersamaan setelah selesainya umat Muslim melaksanakan puasa sunah Syawal, seringkali mubazir karena makanan sejenis justru menumpuk.
"Bagi tetangga atau keluarga yang melaksanakan puasa Syawal, kan bisa menikmati lontong ini pada malam hari," katanya.
Tidak begitu jelas mengapa warga di Bondowoso merayakan Lebaran pada tujuh hari setelah Idul Fitri itu tidak menggunakan ketupat sebagaimana umat Muslim pada umumnya di Pulau Jawa.
Meskipun demikian, untuk lauk pengiringnya tidak berbeda dengan kebiasaan masyarakat Muslim di tempat lain. Lontong itu biasanya disajikan dengan opor ayam atau daging lengkap dengan sambel goreng terbuat dari kentang, wortel dan hati sapi.
Tradisi saling antar makanan tersebut di kalangan masyarakat yang berbudaya dan berbahasa Madura disebut dengan "ter-ater". Kata itu berasal dari "ater" atau antar dan "ter-ater" berarti saling antar.
Pada musim Lebaran Idul Fitri, makanan yang dibawa saat "ter-ater" berupa nasi dan lauk serta jajanan basah. Masyarakat di pedesaan serta di pinggiran kota masih melestarikan budaya itu, sehingga terkadang banyak yang mubazir karena makanan menumpuk.
Karenanya di kalangan masyarakat sekitar perkotaan menyiasati tradisi itu dengan membawa nasi dan lauk sekedarnya. Sementara di pedesaan, tradisi dengan membawa makanan berlebih masih tetap berlangsung.
"Memang tidak mudah mengubah tradisi ini agar makanan tidak mubazir. Saya sudah mencoba di rumah asal istri saya di Desa Dawuhan, agar masyarakat membawa makanan sekedarnya, tapi masih sulit diterapkan. Mereka merasa malu kalau yang dibawa saat 'ter-ater' hanya sedikit," kata Muhammad Tahir, warga Tenggarang.
Redaktur: Mukafi Niam
sumber : Antara
Terpopuler
1
Guru Madin Didenda Rp25 Juta, Ketua FKDT: Jangan Kriminalisasi
2
Workshop Jalantara Berhasil Preservasi Naskah Kuno KH Raden Asnawi Kudus
3
Rapimnas FKDT Tegaskan Komitmen Perkuat Kaderisasi dan Tolak Full Day School
4
Ketum FKDT: Ustadz Madrasah Diniyah Garda Terdepan Pendidikan Islam, Layak Diakui Negara
5
LBH Ansor Terima Laporan PMI Terlantar Korban TPPO di Kamboja, Butuh Perlindungan dari Negara
6
Dukung Program Ketahanan Pangan, PWNU-HKTI Jabar Perkenalkan Teknologi Padi Empat Kali Panen
Terkini
Lihat Semua