Warta SASTRA PESANTREN

Santri Maslakul Huda Berguru pada Habiburrahman

NU Online  ·  Sabtu, 25 Juli 2009 | 03:01 WIB

Pati, NU Online
Siang itu, ruangan auditorium Pesantren Maslakul Huda yang diasuh oleh KH Sahal Mahfudh itu terasa penuh sesak. Ratusan pelajar dan santri berdesakan untuk mendengar kisah kreatif di seputar penulisan novel Ketika Cinta Bertasbih.

Senin (20/7) kemarin, Pengurus Perpustakaan Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Margosoyo, Pati menyelenggarakan bedah novel, mengundang sastrawan Habiburrahman el-Shirazy. Kang Abik, sapaan akrab Habiburrahman, dengan sumringah menyapa ratusan pelajar yang serius mengikuti acara bedah novel.<>

Seperti dilaporkan kontributor NU Online Farid Abbad, bedah novel yang dimoderatori penulis muda Munawir Aziz ini berlangsung hangat dan penuh tawa, namun tak kehilangan substansi. Novel Ketika Cinta Bertasbih (KCB), merupakan karya Kang Abik yang best-seller dan difilmkan setelah Ayat-Ayat Cinta (AAC).

”Saya sebenarnya baru datang dari Jambi, perjalanan jauh yang melelahkan. Namun, saya langsung meluncur ke Pati untuk menyapa santri dan pelajar di pesantren ini,” terang Kang Abik.

Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo Mesir ini banyak menceritakan proses kreatif menjadi pengarang dengan karya best-seller.

”Terus terang, ketika awal menulis novel, saya tidak pernah membayangkan karya saya akan jadi best-seller. Saya menulis ketika selesai kecelakaan, dengan tubuh sakit. Jadi, ini sebenarnya harapan hidup saya,” ungkap Kang Abik.

Bagi sastrawan asal Semarang ini, menulis itu bukan proses yang pendek. Akan tetapi, penulis harus tabah dan gigih untuk menjalani proses yang panjang, setapak demi setapak. “Saya mulai menulis dengan cerita pendek, dengan rangkaian ringan. Sedikit demi sedikit, nanti kita akan terbiasa. Beruntung, sejak sekolah saya selalu menulis catatan harian setiap hari. Teryata itu berdampak luar biasa,” tandasnya.

Dalam mengelola inspirasi, Kang Abik mengingatkan kepada peserta agar tak menyia-nyiakan ide dan potensi. ”Setiap orang punya kesempatan yang sama, jadi tergantung individu untuk menggali potensi masing-masing,” terang Kang Abik, sambil menceritakan kisah belajar di pesantren, sekolah dan kuliah.

”Saya ini sebenarnya sama dengan peserta semua, dengan kultur dan latar belakang yang tak jauh beda. Jadi, saya kira pelajar di forum ini juga punya kesempatan yang sama dengan saya. Kalau pengen jadi penulis, ya mulai nulis dari sekarang,” pinta Kang Abik.

Di forum ini, Kang Abik juga menyinggung iklim literasi di pesantren dan sekolah. Dia mengungkapkan pentingnya perpustakaan untuk membantu generasi muda membaca sebanyak-banyaknya. Dengan perpustakaan, buku akan mudah didapatkan dan komunitas diskusi mudah terbentuk. ”Perpustakaan itu penting sebagai sarana menulis,” terang Kang Abik.

Ungkapan Kang Abik, juga didukung oleh Imam Adzroi, Ketua Perpustkaan Pesantren Maslakul Huda. Menurut Adzroi, perpustakaan pesantren menjadi ruang terbuka bagi pelajar, santri dan warga sekitar untuk mengembangkan bakat dalam dunia literasi.

”Perpustakaan pesantren telah ditambah dengan fasilitas komputer dan bersistem digital. Jadi, santri, pelajar dan masyarakat sekitar bisa dengan mudah mengakses,” ungkap Adzroi. (nam)