Warta

Santri Calon Penerima Beasiswa Tafsir Hadist Hadapi Masalah Dilematis

NU Online  ·  Ahad, 11 Oktober 2009 | 02:19 WIB

Kudus, NU Online
Pendaftaran dan seleksi calon mahasiswa program khusus beasiswa Prodi Tafsir Hadits (TH) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus  usai digelar. Pengumuman kelulusan akan dikeluarkan pada Senin 12 Oktober.

Sebagian di antara peserta itu adalah para santri yang hafal Al Quran atau mereka yang nyantri di pesantren tertentu, bahkan ada yang telah menjadi ustadz di berbagai pesantren lokal Kudus.<>

Sedikitnya, ada puluhan peserta seleksi yang telah atau sedang dalam proses menghafal Al Quran. Sisanya, lebih dari tiga puluh orang yang berstatus Sebagai santri di berbagai pesantren di Kudus dan sekitarnya.

M Rosyid MP.d, salah satu dosen STAIN Kudus mengatakan bahwa keterlibatan kaum “sarungan”, terutama para Hafidz, di alam intelektual kampus akan menghadapi masalah pelik yang segera menuai konflik bagi mereka.

Ia menyebutkan setidaknya enam masalah krusial yang berpotensi memengaruhi nalar kesantrian yang selama ini telah mereka rintis. Masalah itu di antaranya, pertama, sumberdaya yang multikarakter, tidak semuanya berasal dari rumpun pesantren.

Menurutnya, hal ini akan sangat berpotensi dalam kualitas kesalehan para santri setelah masuk di kampus. “Seperti dalam Talim, pergaulan kan sangat memengaruhi kepribadian seseorang,” ujarnya.

Masalah kedua, status sarjana yang belakangan ini menurutnya cenderung kurang mendapatkan posisi di pasar tenaga kerja. Sampai di sini, dosen penulis berbagai judul buku ihwal masyarakat Samin itu mengatakan bahwa title sebagai santri (hafidz) sesungguhnya lebih mulia dan menjanjikan masa depan ketimbang angan-angan menyandang title sarjana yang ia sebut sebagai kebanggaan semu itu.

“Jadi Hafidz (santri) itu lebih mulia dan menjanjikan masa depan ketimbang sarjana yang terancam pengangguran. Bukankah sudah dijanjikan kalau siapa saja yang ‘ngrekso’ (menghafal) al Quran akan ‘direkso’ *oleh Allah?” ujarnya.

Lebih jauh ia menjelaskan bahwa posisi hafidz dalam konteks keilmuan lebih ilmiah dan membutuhkan ketekunan serta kemampuan ekstra, dibandingkan dengan menjadi mahasiswa.

“Tidak semua orang mampu, kalau tidak mendapat ‘fadhal’. Kalau hanya membuat makalah atau buku sekalipun, itu mudah. Tapi kalau al Quran tiga puluh juz masuk kepala, apa itu mudah? Saya saja tidak (belum) bisa,” ujarnya memberikan argumen.

Dalam pemaparannya, pihaknya juga mensinyalir masalah lain. Di antaranya adalah tuntutan sistem belajar metode pesantren dan perguruan tinggi yang harus disatukan. Menurunya, tuntutan ini akan menemukan masalah baru bagi peserta program ini.

Masalah lain yang tak kalah krusial, menurutnya, aturan berbusana akademis yang secara kultural belum familiar di kalangan pesantren. Hal ini menurutnya, secara psikologi setidaknya akan menjadi “beban mental” tersendiri yang perlu disikapi. “Masak ke kampus pakai sarung?” tukasnya dengan nada humor.

Menyikapi masalah itu, pihaknya menghimbau kepada komunitas santri yang masuk dalam program ini untuk sigap dan kreatif menghadapi realitas yang jarang mereka jamah itu.

Mereka harus cerdas dalam beradaptasi agar moralitas dan identitas kesantrian yang selama ini dirintis tidak luntur tergerus atmosfer akademik yang tak “bersahabat” dengan pondasi keilmuan pesantren mereka. “Ingat itu!” demikian ia mengakhiri penjelasannya. (mad)