Warta

Rahman Tolleng: Musuh Kita Adalah Diri Kita Sendiri

Jumat, 10 Desember 2004 | 13:23 WIB

Jakarta, NU Online
Meski berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi kebobrokan politik Indonesia, semua tidak menunjukkan keberhasilan. Politik Indonesia tampak tidak lebih baik dari sebelum gerakan reformasi dilakukan. Bahkan, sulit dibantah, wajah politik Indonesia saat ini tampak semakin kusut.

Demikian inti pernyataan yang disampaikan salah seorang eksponen aktivis Angkatan 1966, Rahman Tolleng, di Jakarta, Jumat (10/12). 

<>

Kusutnya politik nasional saat ini, kata Tolleng, telah mengikis semua usaha atau terobosan dalam memperbaiki politik Indonesia,  sejak uji coba dari sistem multi partai, Pemilu yang jujur dan adil (Jurdil), semi distrik, sampai pemilihan presiden secara langsung. “Tapi semuanya berjalan seperti sebelumnya, tidak membawa perubahan berarti, bahkan dalam beberapa hal terjadi kemerosotan yang lebih buruk,”kata eksponen Angkatan ’66 ini.

Aktivis yang pernah aktif di Forum Demokrasi (Fordem)—organisasi masyarakat sipil yang kritis terhadap kekuasaan Rezim Soeharto pada masa silam—akrab dipanggil dengan nama pendek Tolleng ini memang sengaja didaulat menjadi pembicara dalam acara Silaturrahmi Kelompok Pro Demokrasi dan Peringatan Hari Hak asasi Manusia (HAM) yang diselenggarakan oleh Gugus Nusantara Jakarta, hari ini. 

Lebih lanjut Tolleng mengungkapkan, bahwa masyarakat Indonesia sekarang ini sepenuhnya mengalami disorientasi atau kehilangan arah pandangan politik sebagai warga negara atau rakyat.  Termasuk bagian dari kelompok ini, kata Tolleng, mereka yang mengidentifikasi dirinya sebagai   pro demokrasi dan kalangan reformis. 

Tolleng pun menyebutkan bukti-bukti dari disorientasi itu. “Ketika menghadapi pemilihan presiden beberapa waktu yang lalu mereka mengalami split ideology (ideologi ganda atau terpecah: Red.). Akibatnya, muncul tiga kelompok reformis, yaitu reformis fundamental, reformis pragmatis dan reformis spekulatif,”ungkapnya.

Kelompok reformis fondamental, semestinya bila tidak menganut ideologi ganda, kata Tolleng, dalam menghadapi realitas politik pemilihan presiden yang memunculkan   calon yang tidak sejalan dengan nilai reformasi seharusnya tidak memilih, sebab tidak ada calon yang bisa membawa amanat reformasi. Tetapi dalam kenyataannya, kata Tolleng,  mereka tetap memilih.

Untuk kelompok reformis pragmatis, ungkap Tolleng, mereka  lebih memilih megawati, sebab mereka bisa memperoleh akses kekuasaan yang memadai, dan posisi mereka yang sudah mapan tidak akan terganggu. Sedangkan, untuk kelompok reformis spekulatif, yang mengangankan perubahan, mereka mimilih Susilo Bambang Yudoyono (SBY), tanpa terlebih dahulu menyoal komitmen SBY yang belum pernah ditunjukkan dalam melakukan reformasi atau perubahan. Karena itu, menurut Tolleng, harapan itu bersifat  spekulatif.

Selanjutnya Rahman Tolleng membuktikan bahwa para pemilih SBY benar-benar berspekulasi, karena terbukti hingga saat ini SBY belum membuat langkah dan kebijakan yang bisa mengarah pada perubahan fundamental, khususnya terhadap politik kenegaraan. Kekecewaan demi kekecewaan terus bermunculan, dan tidak menutup kemungkinan akan terus membesar.

“Kalangan masyarakat sendiri juga mengalami kekecewaan, tidak hanya kepada partai, parlemen maupun Ormas, karena mereka terlibat dalam berbagai korupsi dan dan penyimpangan sehingga mereka merupakan bagian dari masalah,”katanya.

Karena itu, menurut Rahman Tolleng, dalam mengatasi kekacauan sosial dan politik semacam ini, orang tidak bisa lagi hanya mengandalkan lembaga atau penataan sistem semata. “Kita semua justeru harus kembali pada diri kita sendiri. Sebab, lawan sebenarnya dalam mengupayakan perubahan tidak lain adalah diri kita sendiri. Lawan kita adalah, nafsu kita, ambisi kita, yang semuanya harus dibayar mahal secara politik dan kekuasaan, melalui korupsi dan kolusi. Kalau kita sebagai individu tidak mampu mengontrol ambisi kita sendiri, maka segala upaya perbaikan sistem akan sia-sia seperti selama ini,”kata Tolleng mengingatkan demoralisasi yang sudah melanda aktivis.

“Sudah saatnya pragmatisme budaya dan gaya hidup metropolis yang jauh dari kesahajaan ditinggalkan, baik oleh para aktivis, maupun masyarakat umum,”kata Tolleng mengharapkan. (neva)