"Pesta Tabuik" Perkuat Tradisi dalam Jalinan Silaturahmi
NU Online · Selasa, 20 November 2007 | 15:49 WIB
Padang, NU Online
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya dan kebiasaan masyarakat Kota Pariaman, Sumbar, tahun 2007 ini pelaksanaan tradisi budaya Pesta "Tabuik" dipindahkan dari daerah itu ke Kota Padang.
Sebelumnya, sejak 1829, Pesta Tabuik selalu digelar di Pariaman untuk menyambut tahun baru Islam. Namun 2007 tempatnya dipindahkan ke Padang berkaitan dengan acara silaturahmi keluarga besar Persatuan Keluarga Daerah Pariaman (PKDP) Sumbar, usai Idul Fitri 1428 Hijriah.
<>Namun, perbedaan tempat dan waktu pelaksanaan Pesta Tabuik di 2007 tidak mengurangi kemegahan tradisi budaya yang menjadi salah satu keunggulan Sumbar dalam dunia pariwisata itu.
Di 2007, Pesta Tabuik dilaksanakan di Kota Padang, Minggu (18/11) dan dipusatkan di Lapangan Hijau Imam Bonjol di titik O kilometer Kota Padang, dan dihadiri hampir 100 ribu warga setempat.
Sejak Minggu siang, sekitar 100 ribu pengunjung mulai memadati sisi-sisi Jalan Dipenogoro, A.Yani, Jalan Damar, Jalan Pemuda dan Jalan Muhammad Yamin hingga Lapangan Hijau Imam Bonjol, untuk menyaksikan arak-arakan dua Tabuik yang "dihoyak" sepanjang jalan oleh sekitar 100 anak nagari (pemuda) berbaju kuning dan merah.
Tabuik berbentuk bangunan bertingkat tiga itu terbuat dari kayu, rotan, dan bambu dengan tinggi mencapai 10 meter dan berat sekitar 500 kilogram.
Bagian bawah Tabuik berbentuk badan seekor kuda besar bersayap lebar dan berkepala "wanita" cantik berjilbab. Kuda gemuk itu dibuat dari rotan dan bambu dengan dilapisi kain beludru halus warna hitam dan pada empat kakinya terdapat gambar kalajengking menghadap ke atas.
Kuda tersebut merupakan simbol kendaraan Bouraq yang dalam cerita zaman dulu adalah kendaraan yang memiliki kemampuan terbang secepat kilat.
Pada bagian tengah Tabuik terdapat gapura petak yang ukurannya makin ke atas makin besar dengan dibalut kain beludru dan kertas hias aneka warna yang ditempelkan dengan motif ukiran khas Minangkabau.
Di bagian bawah dan atas gapura ditancapkan "bungo salapan" (delapan bunga) berbentuk payung dengan dasar kertas warna bermotif ukiran atau batik.
Pada bagian puncak Tabuik yang berbentuk payung besar dibalut kain beludru dan kertas hias yang juga bermotif ukiran. Di atas payung ditancapkan patung burung merpati putih.
Di kaki Tabuik terdapat empat kayu balok bersilang dengan panjang masing-masing balok sekitar 10 meter. Balok-balok itu digunakan untuk menggotong dan "menghoyak" Tabuik yang dilakukan sekitar 50 orang dewasa.
Tabuik dibuat oleh dua kelompok masyarakat Pariaman, yakni kelompok Pasar dan kelompok Subarang. Tabuik dibuat di rumah Tabuik secara bersama-sama dengan melibatkan para ahli budaya dengan biaya sekitar Rp20 juta untuk satu Tabuik.
Tabuik itu digotong dan diarak di jalan-jalan utama, diiringi dentuman alat musik tambur dan atraksi musik gandang tasa.
Menurut Panitia Halal Bihalal PKDP Sumbar, Afrizal, Pesta Tabuik telah menjadi tradisi bagi masyarakat Pariaman setiap tahun, yang dibiasanya digelar setiap menyambut tahun baru Islam 1 Muharam.
Ia menambahkan, tradisi Hoyak Tabiuk itu selain dimaksudkan untuk melestarikan tradisi budaya Pariaman sejak tahun 1829, juga untuk mempererat hubungan silaturahmi keluarga besar Masyarakat Pariaman.
Sejarah "Tabuik"
Menurut catataan sejarah, Tabuik pertama kali diperkenalkan anggota pasukan Islam "Thamil" yang menjadi bagian pasukan Inggris saat mereka menjajah Provinsi Bengkulu tahun 1826 di bawah Jenderal Thomas Stamfort Raffles.
Saat itu setiap menyambut tahun baru, pasukan Thamil menggelar pesta Tabuik yang di Bengkulu bernama "Tabot". Setelah perjanjian London 17 Maret 1829, antara pemerintah Inggris dan Belanda keluar keputusan Inggris harus meninggalkan Bengkulu dan menerima daerah jajahan Belanda di Singapura.
Sebaliknya, Belanda disekapati berhak atas daerah-daerah jajahan Inggris di Indonesia termasuk Bengkulu dan wilayah Sumatera lainnya.
Berkaitan dengan perjanjian itu, serdadu Inggris "angkat kaki" dari Bengkulu, namun sebagian pasukan "Thamil" memilih bertahan dan melarikan diri ke Pariaman, Sumatera Barat, yang saat itu terkenal sebagai daerah pelabuhan yang ramai di pesisir barat pulau Sumatera.
Karena pasukan Thamil mayoritas muslim, mereka dapat diterima masyarakat Pariaman yang saat itu juga tengah dimasuki ajaran Islam.
Terjadilah pembauran dan persatuan termasuk dalam bidang sosial-budaya. Salah satu pembauran budaya itu ditunjukkan dengan diperkenalkannya tradisi budaya Tabuik oleh pasukan Thamil kepada warga Pariaman dan diterima dengan baik yang akhirnya menjadi tradisi budaya dan tidak terpisahkan dari kehidupan warga Pariaman hingga saat ini.
Makna pesta Tabuik dimaksudkan untuk memperingati kematian dua orang cucu Nabi Muhammad SAW, yakni Hasan dan Hosen yang memimpin pasukan kaum muslim saat bertempur melawan kaum Bani Umayah dari Syria pimpinan Raja Yazid dalam perang Karbala di Mekkah.
Dalam pertempuran itu, Hosen wafat secara tidak wajar dan berkat kebesaran Allah SWT, jenazah Hosen tiba-tiba diusung ke langit menggunakan kendaraan "Bouraq" dengan peti jenazah yang disebut Tabot.
Kendaraan Bouraq yang disimbolkan dengan wujud kuda gemuk berkepala wanita cantik menjadi bagian utama bangunan Tabuik yang diarak sepanjang Kota Pariaman dalam pesta Tabuik setiap memasuki tahun baru Islam hingga saat ini. (ant/bfn)
Terpopuler
1
Guru Madin Didenda Rp25 Juta, Ketua FKDT: Jangan Kriminalisasi
2
Workshop Jalantara Berhasil Preservasi Naskah Kuno KH Raden Asnawi Kudus
3
Rapimnas FKDT Tegaskan Komitmen Perkuat Kaderisasi dan Tolak Full Day School
4
Ketum FKDT: Ustadz Madrasah Diniyah Garda Terdepan Pendidikan Islam, Layak Diakui Negara
5
LBH Ansor Terima Laporan PMI Terlantar Korban TPPO di Kamboja, Butuh Perlindungan dari Negara
6
Dukung Program Ketahanan Pangan, PWNU-HKTI Jabar Perkenalkan Teknologi Padi Empat Kali Panen
Terkini
Lihat Semua