Warta POLITIK KIAI (2)

Proteksionisme Pesantren Memisahkannya dengan Masyarakat

NU Online  ·  Jumat, 17 Juli 2009 | 08:51 WIB

Jakarta, NU Online
Pengaruh pesantren, termasuk dalam hal pilihan politik kiai kini semakin memudar. Dalam pemilu presiden baru-baru ini, anjuran kiai hanya diikuti oleh para santrinya di lingkungan pesantren sementara masyarakat sekitarnya memiliki pilihan sendiri.

Salah satu faktor yang menyebabkan semakin berkurangnya pengaruh kiai dan pesantren adalah jarak sosial yang mereka buat melalui kebijakan proteksionisme pesantren. Jika dulu masyarakat turut menerima berkah keberadaan kiai dengan menyediakan warung kebutuhan para santri, kini banyak pesantren yang memilih membikin warung sendiri dan melarang santri membeli ke luar.<> 

Sebuah media melaporkan keluhan warga yang tinggal dekat dengan sebuah pesantren besar di Kediri yang merasa berjarak dengan pesantren karena untuk bisa bertemu dengan kiai saja susah, sementara para pejabat dengan gampang keluar masuk pesantren. Sikap pengasuh pesantren saat ini berbeda dengan kiai terdahulu yang sangat akrab dengan masyarakat dan gampang memberikan bantuan yang diperlukan. Faktor seperti ini telah menciptakan benteng sosial yang memisahkan pesantren dan lingkungan sekitarnya.

“Siapapun, jika dekat di hati ummat atau warga, maka apa yang diharapkan dari ummat pasti akan dipenuhi umatnya. Jika NU dekat dengan ummat, maka instruksinya di dengar, anjuran apapun dipatuhi,” kata Masdar F Mas’udi.

Baginya, tak ada hal lain untuk mengembalikan peran pesantren di tengah-tengah masyarakat kecuali membuka kembali pintu fisik dan sosial dengan masyarakat.

Terkait dengan kebijakan ekonomi, ini bukan persoalan yang mudah karena proteksionisme yang dilakukan merupakan wujud reaksi perubahan sosial yang ada. Saat ini sumberdaya yang dimiliki oleh pesantren semakin langka sementara biaya overhead yang harus dibayarkan semakin mahal. Pesantren harus membangun gedung, menyediakan sarana dan prasarana dan harus membayar guru. Semuanya harus dihitung dengan uang.

Saat masih berupa pesantren salaf, biaya yang dibutuhkan sangat rendah karena ngaji cukup di masjid, tak perlu membayar ustadz atau menyediakan peralatan yang mahal.

Para kiai pada zaman dahulu juga tuan tanah yang mampu membiayai kebutuhan pendidikan, tetapi kemampuan tersebut semakin menurun setelah 2 atau 3 generasi kemudian karena adanya pembagian aset, ditambah lagi dengan suburnya sikap konsumerisme. Pilihan politik para kiai saat ini merupakan upaya untuk mengamankan sumberdaya yang semakin terbatas tersebut.

Jika ditelisik, turunnya kemampuan ekonomi kalangan pesantren ini sebagian merupakan upaya pemberangusan yang dilakukan rezim Orde Baru untuk melemahkan pesantren yang waktu itu merupakan oposisi yang kuat.

Upaya membangkitkan kembali kemandirian pesantren kini tak dapat dilakukan sendirian. Disinilah peran NU yang harus secara kolektif meningkatkan kembali kemampuan ekonomi pesantren agar tidak tergantung dengan fihak luar. “Kemandirian ini penting karena terkait dengan martabat,” tandasnya. (mkf)