Semarang, NU Online
Kelurahan Plamongansari Kecamatan Pedurungan Kota Semarang, kini sedang gencar mengembangkan diri sebagai sentra batik baru. Tak tanggung-tanggung, ciri khasnya langsung dibuat, yakni batik dengan corak yang mengeksploitasi nuansa keislaman.
Motif batik yang telah dibuat ada “Masjid dan Ngaji”. “Tlatah Santri”, serta “Nuansa Hijaiyah”. Ada pula motif “Kebun Pisang”, “Bata Ketiban Siwalan” dan “Jagad Plamongansari”. Dahsyat memang, baru lima bulan sejak dirintis, Sri Asih sudah menciptakan 50 motif batik.
<>
Hasil produknya sudah menyebar ke Jawa Tengah bahkan manca negara. Karena sering diikutkan dalam pameran maupun dibawa pembeli dan dihadiahkan orang di luar negeri.
Soal kualitas, bisa diukur dari harga jualnya yang cukup tinggi untuk kebanyakan orang Kota Semarang. Selembar batik tulis ukuran 1,5 x 2,5 meter bermotif huruf hijaiyah, dijual seharga Rp 2,5 juta. Adapun baju pria lengan pendek (hem), paling murah Rp 500 ribu.
Semua itu dibuat di sebuah tempat produksi sederhana yang disebut Sanggar produksi batik yang diberi nama Sri Asih ini didirikan dan dipimpin oleh Sus Wahyuningsih (42), warga RW 7 Plamongansari. Muslimah berjilbab yang biasa dipanggil Susi ini adalah tokoh aktivis masjid yang memimpin jamaah Yasin dan Tahlil di lingkungannya.
Lokasi sanggar Sri Asih berada di depan Puskesmas Pembantu Kelurahan Plamongansari, 100 meter sebelah timur kantor kelurahan Plamongansari. Sebuah bangunan di atas tanah milik Kelurahan berukuran 16 x 16 meter dengan dinding gedhek dan atap asbes, itu dibuat Susi atas dukungan penuh Lurah Plamongansari Mukhtar. Yakni dengan meminjamkan tanah milik Kelurahan untuk sanggar tersebut.
Mukhtar sendiri bukan PNS biasa. Dia tokoh Nahdlatul Ulama dan pemangku madrasah dan masjid di Tlogosari Semarang. Pernah menjadi Ketua Tanfidziyah MWC NU Kecamatan Pedurungan dan berhasil mendirikan gedung MWC NU dua lantai.
Ia juga aktif sebagai mubalig dan sangat getol mengupayakan pengurangan kemiskinan dan pengangguran di wilayah yang menjadi tanggungjawabnya sebagai lurah sekarang.
“Bu Susi ini pebisnis batik dan butuh tempat untuk produksi, sedangkan saya ingin mengurangi pengangguran bagi warga Plamongansari. Klop lah. Bu Susi saya minta melatih warga saya seara gratis, beliau boleh menjual batik hasil produksi warga yang dilatih itu,” tutur Mukhtar saat menengok sanggar batik Sri Asih.
Lurah energik ini mengungkapkan, sejak dibuka 26 September lalu, sudah 20 warganya yang semuanya wanita ikut pelatihan membatik di sanggar tersebut. Sekarang seluruh peserta angkatan pertama ini sudah mahir. Memegang canting, mengoleskan malam panas di selembar kain, sampai terbentuk lukisan yang indah berbagai corak.
Sejak pagi, 20 wanita muda maupun ibu rumah tangga sibuk membatik. Ada yang membatik di atas kain mori, katun impor, maupun kain sutera. Mereka membentuk empat kelompok dengan anggota 5 orang. Tiap kelompok merubung sebuah kompor kecil yang di atasnya ada wajan berisi malam mendidih. Masing-masing memegang canting di tangan kanan, dan kain putih yang telah dilukis pola batik di tangan kiri.
Ada yang sambil mengobrol kecil, ada yang sambil mendengarkan musik dari HP berfasilitas MP3. Sementara dua lelaki yang dibayar secara profesional, sibuk menggambar pola batik menggunakan pensil, di atas meja kaca bening yang bawahnya dipasang lampu.
Peralatan di sanggar itu cukup lengkap. Selain peralatan batik tulis yang sederhana itu, ada beberapa meja untuk membuat batik cap. Tak kurang 20 motif cap berupa kotak logam berukuran 20 x 20 cm berjejer di dinding, siap untuk dicelupkan malam dan distempelkan pada kain polos.
Sementara batik yang sudah jadi, dipajang di ragangan kayu maupun di lemari kaca. Indah dipandang mata. Nuansa “Plamongansari banget” sangat terasa dengan adanya motif huruf hijaiyah, gambar masjid maupun suasana mengaji para santri. Maklum di kelurahan ini banyak terdapat pondok pesantren maupun madrasah diniyah.
Kembangkan Batik Santri
Sus Wahyuni mengaku senang dengan pola sanggar sebagai pelatihan. Dia mengaku biasa memberi pelatihan membatik sejak lama. Beberapa tahun lalu, Susi melatih ibu-ibu tetangganya di perumahan Plamongan Indah.
Ilmu membatik, akunya, diperoleh dari mengikuti Pelatihan Membatik pada 2006 yang diselenggarakan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Semarang.
Aktivitasnya sekarang itu, mendapat dukungan LPMK dan Kelurahan, serta suport besar dari Disperindag Kota Semarang. Diantaranya sering mengajaknya ikut pameran.
“Saya bersyukur mendapat dukungan berbagai pihak. Selain kelurahan dan LMPK Plamongansari, Disperindag men-suport serius. Kami sering diajak pameran,” tuturnya.
Susi menyampaikan, Kabid Industri Logam, Mesin, dan Tekstil Disperindag Kota Semarang Indra Hanafi memberikan apresiasi bagus padanya. Motif-motif yang mengeksplorasi aktivitas pesantren, dinilai sangat khas dan belum ada yang membuat. Dan dia disarankan segera mematenkan motif Sri Asih.
“Kami telah didorong untuk mematenkan motif batik santri buatan kami,” tandasnya.
Batik motif pesantren yang dia sebut Batik Santri, memang dikembangkan serius untuk menjadi motif unggulan. Sri Asih akan mengembangkan citranya sebagai produsen batik santri.
“Saya tadinya agak ragu mengeskplorasi huruf hijaiyah sebagai ragam motif batik. Takut dianggap melecehkan huruf Arab. Keraguan itu pupus setelah berkonsultasi dengan budayawan Djawahir Muhammad yang juga pemerhati batik. Apalagi Pak Lurah adalah seorang kiai, tokoh Nahdlatul Ulama,” ujarnya disambut ucapan “weleh” Mukhtar.
Huruf hijaiyah, kata dia, bersifat bersifat universal. Tak masalah dipakai motif batik asal tidak dibentuk sebagai ayat-ayat Alquran. Bahkan, orang non-Islam pun bisa memakainya, sama seperti orang Islam memakai baju yang ada huruf kanjinya.
Mukhtar mengatakan, Sri Asih sudah membuka jalan menuju cita-citanya menjadikan Plamongansari sebagai sentra batik. Dan yang sangat membahagiakannya, sanggar batik itu telah setapak menciptakan lapangan kerja bagi warganya.
”Kami bercita-cita menjadikan keurahan ini sebagai sentra batik, kelak. Saya membayangkan daerah ini sini dicap ‘wilayah tidur’ bisa menjadi hidup. Tentu kami butuh dukungan Pemkot Semarang dengan berbagai kebijakan yang mendukung pemasarannya,” pungkasnya.
Redaktur : Mukafi Niam
Kontributor: Muhammad Ichwan
Terpopuler
1
Niat Puasa Arafah untuk Kamis, 5 Juni 2025, Raih Keutamaan Dihapus Dosa
2
Menggabungkan Qadha Ramadhan dengan Puasa Tarwiyah dan Arafah, Bolehkah?
3
Takbiran Idul Adha 1446 H Disunnahkan pada 5-9 Juni 2025, Berikut Lafal Lengkapnya
4
Khutbah Idul Adha: Mencari Keteladanan Nabi Ibrahim dan Ismail dalam Diri Manusia
5
Panduan Shalat Idul Adha: dari Niat, Bacaan di Antara Takbir, hingga Salam
6
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
Terkini
Lihat Semua