Pilihan antara Halal dan Wajib
NU Online · Ahad, 5 September 2010 | 09:03 WIB
Diskusi terus berlangsung, dan cenderung menjadi perdebatan, antara peserta bahtsul masail yang menyatakan bahwa melindungi dan mempertahankan gereja itu halal, yang memandangnya sebagai wajib dan yang memandangnya perlu ada perincian dalam hal ini.
Ust. Hudhari dengan tegas mengatakan bahwa apa yang disampaikan Faiq, Ali Mursyid, Sa’dun dan yang lainnya, memang benar, memang benar Islam menyerukan umatnya untuk mempertahankan tempat peribadatan non-muslim, tetapi hanya mempertahankan bukan untuk mendukung atau membiarkan adanya pembangunan baru.<>
Pandangan Hudhori ini dapat sanggahan dari Ust. Faiq dengan menyatakan bahwa di dalam kitab Nihayatul Muhtaj, tertulis boleh diperbaharui.
Namun, perdebatan tidak berhenti di sini. Tema perdebatan pun bergeser tentang sahnya sebuah komunitas non-muslim disebut sebagai kafir dzimmy yang wajib dilindungi oleh masyarakat muslim.
Ini diungkapkan dengan tegas oleh Ust. Hudhori: “Tentang hak kafir dzimmy itu sangat terkait dengan apakah dalam ‘aqdu dzimmah (perjanjian damainya) ada diizinkan membangun tenpat ibadah baru. Dan dalam kitab kuning tertulis bahwa bagaimana tempat ibadah non-muslim dilindungi itu ada prosedurnya
Apa yang diungkapkan ust. Hudhari di atas bukannya meredam suasana, tetapi menambah hangat forum, karena banyak menimbulkan tanggapan dari para peserta. Roland Gunawan menanyakan bahwa,
"Itu kan dulu, konteks dahulu, zaman khilafah, sekarang ini di Indonesia, kita lebih baik bicara konteks Indonesia saja. Sementara Faiq, menyatakan bukan zamannya lagi membicarakan ada warga kelas dua yang ada harus wajib bayar jizyah dan orang muslim tidak wajib bayar zijyah, itu kan zaman khilafah dahulu," katanya.
Menurutnya sekarang ini, negeri ini bukan negeri milik kaum muslim, sehingga orang non-muslim tidak harus bayar jizyah kepada muslim, "Bukankah kita semua bayar pajak ke negara," tandasnya.
Sementara itu Muhammad Afifi, mananyakan bahwa perlu ditegaskan dulu apakah Indonesia negara Islam yang harus memberlakukan konsep khilafah/daulah Islamiyah, atau bukan negara Islam sehingga tidak perlu prosedur yang kemukakan ust. Hudhari tersebut.
Reaksi para peserta diskusi ini semakin terus menghangat. Untungnya moderator, Mukti Ali segera menguasai forum, satu persatu kebingungan peserta dijelaskan dan diberi jawaban olehnya. Mukti menjawab: “Untuk soal status negara Indonesia itu sudah diputuskan di bahtsul masail sebelumnya. Pada bahtsul masail sebelumnya disepakati bahwa antara Darul Islam itu berbeda dengan Daulah Islamiyah. Darul Islam itu artinya tanah atau wilayah yang ditempati orang Islam dan orang Islam bebas melakukan peribadatan di dalamnya. Sementara Daulah Islamiyah adalah berarti khilafah Islamiyah, seperti Turki Utsmani, Abbasiyah dan Umawiyah.
Di dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin dikatakan bahwa bahwa Betawi dan tanah Jawa (nusantara) adalah Darul Islam, karena didiami umat dan pernah dikuasai umat Islam, meski dijajah bangsa lain.
Sementara tentang pembangunan gereja, Mukti Ali membaca ta’bir dari kitab kuning, yang isinya adalah membolehkan (menghalalkan) kaum muslimin, baik untuk mempertahankan maupun untuk membangun baru gereja yang memang sudah dapat izin resmi pemerintah.
Dari ta’bir yang dibacakan Mukti Ali tersebut, segala kebingungan peserta terjawab. Dan pertanyaan pertama mengenai apa hukumnya membiarkan pembangunan gereja yang sudah dapat izin pemerintah, terjawab sudah, yaitu jaza atau boleh atau halal hukumnya. Bukan wajib atau pun haram.
Dengan terjawabnya pertanyaan pertama tersebut, memudahkan forum untuk membahas dan mencari serta memutuskan jawaban untuk pertanyaan kedua, yaitu apa hukumnya, boleh tidak melarang pendirian gereja yang sudah mendapatkan izin resmi pemerintah.
Mula-mula peserta forum bahtsul masail menjawabnya hitam putih, yaitu boleh atau tidak. Jawaban awalnya adalah bahwa kalau membiarkan pendirian gereja adalah halal atau jâza, maka tentu melarangnya adalah haram. Tetapi kemudian diskusi bergulir, ada pertanyaan susulan, "Masak di negeri demokrasi tidak boleh mengemukakan penolakan?
Diskusi pun bergulis beberapa saat, tetapi tentu tidak sedahsyat diskusi pada pembahasan pertanyaan yang pertama. Setelah lewat beberapa saat,kemudian moderator menyimpulkan bahwa hukum melarang pendirian gereja yang telah dapat izin pemerintah itu adalah jika pelarangan dilakukan dengan anarkhis, mau menang sendiri, dilakukan secara dzhalim, maka tentu ini haram atau tidak boleh hukumnya.
Ini sesuai dengan ta’bir yang di ambil dari tafsir al-Qurthubi yang menafsirkan ayat “Wa lâ tasubbû...dst” dengan menyatakan bahwa tidak boleh bagi orang Islam untuk mencaci Tuhan, agama dan tempat peribadatan non-Muslim”.
Kalau pun ada pelarangan, maka yang diperbolehkan adalah bila pelarang itu dilakukan secara prosedural, tidak anarkhis, melalui jalur hukum, dan tidak ada kecurangan di dalamnya. Menurut Muhammad Afifi, pembolehan atas pelarangan ini terutama bila ada indikasi atau bukti bahwa izin pendirian gereja didapat atas dasar kebohongan. (peliput: Ali Mursyid)
Terpopuler
1
Dilantik, Berikut Susunan Lengkap Idarah 'Aliyah JATMAN Masa Khidmah 2025-2030
2
Penggubah Syiir Tanpo Waton Bakal Lantunkan Al-Qur’an dan Shalawat di Pelantikan JATMAN
3
Rais Aam PBNU: Para Ulama Tarekat di NU Ada di JATMAN
4
Gencatan Senjata Israel-Hamas
5
Khutbah Jumat: Muharram, Bulan Hijrah Menuju Kepedulian Sosial
6
Gus Yahya: NU Berpegang dengan Dua Tradisi Tarekat dan Syariat
Terkini
Lihat Semua