Pondok pesantren di tengah isu global perubahan iklim berkepentingan untuk ikut berpartisipasi aktif di dalamnya. Sebagai bagian integral di tengah masyarakat dunia, pesantren mempunyai tugas penting mendorong masyarakat untuk sadar terhadap lingkungan hidup yang menopang kehidupan sehari-harinya.
Hal ini penting dilakukan mengingat kehidupan manusia sangat tergantung pada kelestarian alam di sekitarnya. Gagasan tersebut kuat mengemuka dalan even tradisional yang gegap gempita bernama Suran Tegalrejo bertajuk “Jamasan alam” diselenggarakan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API), Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, Jumat malam (24/12).
>
KH Muhammad Yusuf Chudlory atau Gus Yusuf, penggagas Jamasan Alam sekaligus pengasuh Pesantren API Tegalrejo, mengakui pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.
“Melalui kesenian tradisional Jamasan Alam ini, marilah kita niati agar mampu berdamai dengan alam,” kata Gus Yusuf.
Malam itu, ribuan warga tumplek menyaksikan kegiatan unik yang diisi pentas kebudayan oleh belasan grup kesenian lokal, teater, dan pidato kebudayaan ini.
Latarbelakang even ini, antara lain, didorong oleh hadirnya fenomena alam letusan gunung berapi (Merapi), aliran lahar dingin, dan berbondong-bondongnya warga mengungsi ke tempat lain akibat alam. Namun lebih dari itu, makna Jamasan Alam ini merupakan dakwah ala pesantren kontemporer bagi rakyat agar mampu berdamai dengan alam.
Tak pelak, acara ini juga menjadi ruang refleksi sekaligus kritik rakyat kepada penguasa. Adalah Sutanto Mendut, Presiden Lima Gunung, melontarkan kritik arif kepada pemerintah soal tanggap bencana gunung Merapi yang cenderung terpasung pada standar kaku yang membuat rakyat sulit memahami secara teknis. Tanggap bencana itu adalah kategorisasi langkah berupa “waspada”, “siaga”, dan “awas”.
Kata Sutanto, setiap Merapi “bertingkah” kebijakan yang disampaikan pemerintah selalu terpaku pada tiga kata itu sebagai upaya melindungi rakyat. Akan tetapi tidak dibarengi dengan penjelasan teknis yang detail terhadap Gunung Merapi. Sehingga usaha melindungi rakyat tidak terlaksana secara baik, justru sebaliknya.
Dikatakan, tanpa dibarengi keterangan komplit dari pejabat, lalu rakyat mencari pemahaman sendiri tentang kebijakan pemerintah itu sehingga makna “waspada”, “siaga”, dan “awas” ditafsirkan sendiri-sendiri oleh rakyat.
“Jangan heran, rakyat berusaha mandiri mengambil langkah cerdas menyelamatkan diri tanpa peduli ada awas, waspada, maupun siaga. Makanya, pejabat harus berguru pada rakyat,” katanya. (mmn)
Terpopuler
1
Aliansi Masyarakat Pati Bersatu Tetap Gelar Aksi, Tuntut Mundur Bupati Sudewo
2
Resmi Dilantik, Ini Susunan Pengurus LBH Sarbumusi Masa Khidmah 2025-2028
3
Ribuan Santri Pati Akan Gelar Aksi Tolak Kenaikan Tarif PBB 250 Persen hingga 5 Hari Sekolah
4
INDEF Soroti Pemblokiran Rekening yang Dianggap Reaktif dan Frustrasi Pemerintah Hadapi Judi Online
5
Obat bagi Jiwa yang Kesepian
6
Harlah Ke-81 Gus Mus, Ketua PBNU: Sosok Guru Bangsa yang Meneladankan
Terkini
Lihat Semua