Peran Maqashidus Syari’ah dalam Hukum Islam
NU Online Ā· Jumat, 10 Desember 2010 | 09:14 WIB
Istilah maqashidus syariāah mungkin masih asing bagi kalangan awam, tapi merupakan aspek yang akrab dan sangat penting bagi kalangan ahli fiqih untuk membantu menetapkan sebuah hukum.
Arti maqashid adalah jamak dari āmaqshodā. Menurut bahasa, maqshod berarti tujuan. Sedangkan dalam istilah ilmu fiqih, maqashidus syariāah adalah tujuan-tujuan yang ingin diwujudkan oleh syariat Isla<>m.
Dalam diskusi Kamisan, 9 Desember di NU Online, tema "Peran Maqashis Syariāah dalam Penerapan Hukum Islam" ini sengaja dibahas karena masih asing di telinga orang awam. Diskusi KH Arwani Faishal, wakil ketua Lembaga Bahtsul Masail NU, dengan moderator Hamzah Sahal. Turut hadir pula salah satu wakil sekjen PBNU, Abdil Mun'im DZ, dan pemimpin redaksi NU Online, Muhammad Syafi.
Para ulama membagi kategori maslahah yang ada, yaitu mashlahah muātabarah, mashlahah mulghah, dan mashlahah mursalah. Yang paling banyak diperbincangkan adalah mashlahah muātabarah dengan lima tujuan, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Sementara itu mashlahah mulghah adalah sesuatu yang dianggap maslahah oleh manusia tetapi syariat secara tegas menolaknya melalui penetapan hukum, seperti berlebihan dalam beragama. Mashlahah mursalah maslahat yang tidak dinafikan oleh syariat dan tidak pula diakui secara tegas (didiamkan).
āKajian tentang maqashidus syariāah ini sebenarnya lebih diperuntukkan bagi faqih atau fuqaha, karena kalau orang awam, cukup menerima hukum secara tekstual seperti yang diputuskan oleh mufti atau mujtahid,ā katanya.
Keberadaan maqashidus syariāah ini penting membantu ilmu ushul fiqih dalam menyelesaikan sebuah persoalan. Ia mencontohkan, ada sebuah ayat yang menyatakan āAmbillah diantara harta mereka sebagai zakat..ā.
Jika dimaknai secara tekstual, maka zakat yang diambil disesuaikan dengan pekerjaannya. Jika petani, diambil padinya, jika pedagang pasir, diambil zakat pasirnya, pedagang besi, diambil zakat besinya.
Maqashidus syariāah dalam hal ini membantu memberi solusi dalam zakat ini, dengan menafsirkan, zakat bisa diambil dalam bentuk nilai uangnya, tidak dalam bentuk barangnya untuk memudahkan pemanfaatan bagi mereka yang mendapat hak.
Tetapi juga ada masalahah yang tidak boleh diubah bentuknya, seperti Qurban, yang harus dalam bentuk penyembelihan hewan, tidak dalam bentuk pembagian uangnya.
Mahbub Muwafi, salah satu pengurus LBMNU, memberi contoh lain tentang pentingnya maqashidus syariāah dalam dunia sekarang. Suatu ketika rasulullah pernah dimintai sahabat untuk menetapkan harga sebuah barang yang naik tinggi, tetapi rasulullah menolaknya. Jika melihat secara tekstual dari hadits ini, pengendalian harga dilarang, tetapi dalam konteks sekarang, penting dilakukan, khususnya untuk bahan pokok agar tidak merugikan masyarakat banyak dengan alasan adanya maqashidus syariāah.
Mahbub juga melihat adanya pergeseran pandangan di kalangan NU dengan membandingkan hasil bahtsul masail komisi Maudluiyyah dalam muktamar NU di Makassar 2010 dan Munas NU di Lampung tahun 1992.
āAda pergeseran dari ushul fiqih yang tekstualis menjadi lebih melihat pada realitas yang ada, hukum ditetapkan berdasarkan apa yang paling memberi masalahah pada masyarakat luas,ā katanya.
Kiai Arwani menambahkan, maqashidus syariāah sangat penting ketika ada berbagai pendapat dalam satu hukum. Keputusan diambil dengan menetapkan yang manfaatnya paling tinggi, dengan lima kriteria yang telah disebutkan. Tetapi disisi lain, maslahah yang sifatnya duniawi tidak boleh bertentangan dengan maslahah ukhrawi.
Satu hasil bahtsul masail NU juga tidak melihat permasalahan secara hitam putih, ketika dikaitkan dengan maqashid asy-syariāah, akan terlihat berbagai persyaratan untuk memenuhi maslahah bagi semua fihak.
Pada Munas NU di Surabaya 2006 lalu, dibahas masalah suami yang pergi lama tanpa ketahuan statusnya. Akhirnya, si istri menikah lagi, tiba-tiba suami pertamanya kembali. Yang menjadi pertanyaan, yang berhak suami pertama atau kedua, dikalangan ulama NU sendiri terjadi perbedaan pendapat.
Akhirnya disimpulkan, suami pertama tetap berhak, tetapi istrinya harus mengembalikan mahar kepada suami kedua dan suami pertama juga harus memberi kompensasi mantan suami kedua yang telah menafkahi istrinya.
āIni semua dalam tinjauah maqashidus syariāah, karena kalau sekedar bahtsul masail, tidak dipertanyakan,ā tuturnya.
Penggunaan maqashidus syariāah sendiri harus hati-hati karena kelompok liberal dan konservatif mengggap maqashidus syariāah terlepas dari teks, padahal aspek keadilan, berbuat baik dan lainya juga banyak dikutip dalam ayat Al-Qurāan.
Sekretaris Lajnah Taālief wan Nasr Ulil Hadrawi, yang juga hadir diskusi, mengkritik kalangan yang belum-belum langsung merujuk pada maqashidus syariāah tanpa melihat ushul fiqihnya.
āAda yang belum-belum langsung merujuk pada maqashidus syariāah. Ini kemungkinannya ada dua, karena keterbatasan manusia dalam memahami teks atau malah mencari teksnya,ā tandasnya.
Jika kecenderungan ini semakin meningkat, maka peran teks, baik Al-Qurāan atau hadits akan semakin tersingkir, dan seolah-olah tidak usah pakai usul fiqih.
āNanti akhirnya yang masuk di sana masuk kepentingan, kekuasaan, dan lainnya. Bukan lagi ada pertimbangan fikih lagi,ā tandasnya.
Kiai Arwani menegaskan, kesalahan dalam penggunaan maqashidus syariāah akan membahayakan banyak orang.
āOrang alim atau mujhahid akan terpeleset jika salah menerapkan maqashidus syariāah. Intinya, kita harus menggunakannya secara hati-hati,ā tandasnya. (mkf)
Terpopuler
1
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
2
Khutbah Idul Adha: Menanamkan Nilai Takwa dalam Ibadah Kurban
3
Bolehkah Tinggalkan Shalat Jumat karena Jadi Panitia Kurban? Ini Penjelasan Ulama
4
Khutbah Idul Adha: Implementasi Nilai-Nilai Ihsan dalam Momentum Lebaran Haji
5
Khutbah Idul Adha Bahasa Jawa 1446 H: Makna Haji lan Kurban minangka Bukti Taat marang Gusti Allah
6
Khutbah Idul Adha: Menyembelih Hawa Nafsu, Meraih Ketakwaan
Terkini
Lihat Semua