Jakarta, NU Online
"Tak Putus Dirundung Malang" agaknya menjadi ungkapan yang tepat untuk menggambarkan nasib petani tebu di Indonesia. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan peraturan untuk melindungi petani tebu lokal. Petani tebu sepertinya tak pernah diberi kesempatan untuk menarik nafas. Penyelundupan pun semakin marak seiring lemahnya penegakan hukum. Kini peraturan pemerintah tak ubahnya hanya macan di atas kertas bagi para penjahat kera putih.
Betapa terkejutnya Menperindag Rini MS. Soewandi saat membongkar paksa dua kawasan pergudangan di Jakarta Utara, Sabtu dini hari (12/6). Rini menemukan 33 ribu ton gula impor ilegal yang tidak dilaporkan aparat Ditjen Bea Cukai kepada departemen yang dipimpinnya.
<>Padahal dalam laporan sebelumnya, Bea Cukai melaporkan telah menahan gula ilegal sebanyak 8.750 ton yang masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok setelah 30 April 2004.
"Saya heran, kok gula ilegal yang ditahan Bea dan Cukai banyak sekali. Pertama dikatakan 8.750 ton. Ternyata saya menemukan lagi 33 ribu ton. Kok itu enggak dilaporkan kepada saya,"kata Rini dengan nada heran saat melakukan inspeksi mendadak (Sidak) di Gudang Hobros di Cakung dan BGR di Kelapa Gading Jakarta.
Ternyata temuan Rini dari bongkar paksa itu masih belum lengkap, karena saat ditanyakan kepada Ketua Asosiasi Petani Tebu dan Rakyat (APTR) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II Arum Sabil, volume total gula impor ilegal itu mencapai 56 ribu ton. "Bukan 33 ribu ton, total gula impor selundupan itu 56 ribu ton,"jawab Arum Sabil yang mengaku sedang berada di Mabes Polri untuk melaporkan terjadinya penyelundupan gula besar-besaran itu, Senin sore (14/6).
Impor gula ilegal besar-besaran ini terkesan aneh, sebab berdasarkan peraturan yang dikeluarkan Menperindag Rini MS. Soewandi. Pemerintah tidak melarang impor gula, kecuali jika dilakukan di atas 30 April 2004. Peraturan yang terhitung lunak ini sengaja dibuat, karena pemerintah menyadari larangan impor gula bisa menimbulkan inflasi saat produksi nasional belum mencukupi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri.
Sebagai bentuk kompromi untuk melindungi kepentingan petani tebu, dan pengusaha impor. Pemerintah mengeluarkan larangan impor saat musim penggilingan tebu seperti bulan-bulan ini. Tak ubahnya anjing menggonggong, kafilah tetap saja berlalu. Peraturan Menperindag itu tak membuat bulu kuduk importir berkidik.
"Selama para pelaku penyelundupan tidak ditangkap, sampai kapan pun penyelundupan gula tidak akan berhenti,"kata Ketua Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdatul Ulama (LP2NU) Imam Churmen.
Tangapan serupa juga diberikan Ketua APTR Arum Sabil. Dia mengatakan, untuk mencegah penyelundupan bukan dengan jalan pemusnahan gula. Pelakunya seharusnya ditangkap, kalau perlu ditembak saja. "Penyelundupan gula itu merugikan jutaan petani, dan negara. Tapi pencurinya tidak pernah ditangkap, apalagi diadili. Ini aneh, sebab pencuri ayam yang hanya merugikan satu dua orang saja ditembak, tapi penyelundup gula malah dibiarkan berkeliaran di hotel,"kata Arum Sabil seraya mengingatkan bahwa dirinya juga tidak setuju dengan tindak pencurian ayam.
Siapa sebenarnya pemilik 56 ribu ton gula selundupan itu? Menurut Churmen, semula salah satu pemiliknya itu PTPN X, tetapi direkturnya sudah membantah, bahwa dugaan itu tidak benar, pihaknya hanya menjadi korban pemalsuan tanda tangan para penyelundup.
Berbeda dengan Churmen, Arum Sabil mengatakan," PTPN X boleh saja membantah, tetapi tetap saja harus dibuktikan, sebab manifes menunjukkan PTPN X,"kata Arum Sabil yang mengaku masih terus memburu para pelaku penyelundupan gula.
Menurut Arum Sabil, selain PTPN X, beberapa pihak yang diduga terlibat penyelundupan adalah Induk Koperasi Unit Desa (Inkud), PT Phoenix, oknum Bea Cukai, dan Sucofindo. "Mereka semua juga dilaporkan oleh Depperindag,"kata Arum Sabil yang sempat bertemu dengan wakil Depperindag yang juga melaporkan perihal penyelundupan gula itu di Mabes Polri.
Secara prinsip, baik Churmen maupun Arum Sabil sama-sama tidak bisa membenarkan penyelundupan, karena merusak harga gula petani lokal, dan menghancurkan masa depan petani tebu. "Cepat atau lambat, harga gula petani yang saat ini sebesar Rp 3.400,- terancam anjlok jika gula selundupan tak bisa dihentikan,"kata Churmen.
Dengan lolosnya 56 ribu gula selundupan itu, menurut Sabil negara mengalami kerugian sebesar Rp 39.200.000.000,- Kerugian sebesar itu dihitung dari besarnya bea masuk yang dikenakan untuk perkilogram gula impor sebesar Rp 700,-
Total kerugian negara sebesar tiga puluh sembilan miliar dua ratus juta itu hasil perkalian 56 juta kilogram dengan bea masuk sebesar Rp 700,-.
<Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Membumikan Akhlak Nabi di Tengah Krisis Keteladanan
2
Guru Madin Didenda Rp25 Juta, Ketua FKDT: Jangan Kriminalisasi
3
Khutbah Jumat: Meneguhkan Qanaah dan Syukur di Tengah Arus Hedonisme
4
Gus Yahya Dorong Kiai Muda dan Alumni Pesantren Aktif di Organisasi NU
5
Khutbah Jumat: Menolong Sesama di Tengah Bencana
6
MK Larang Wamen Rangkap Jabatan di BUMN, Perusahaan Swasta, dan Organisasi yang Dibiayai Negara
Terkini
Lihat Semua