Warta BAHTSUL MASAIL PEMBANGUNAN GEREJA (1)

Pentingnya Menjaga Kerukunan Beragama

NU Online  ·  Ahad, 5 September 2010 | 06:34 WIB

Bekasi, NU Online
Ahad 29/08/2010, Rumah Kitab, kitab kuning study center for empowerment yang berlokasi di Bekasi, bekerjasama dengan ustadz-ustadz setempat menyelenggarakan Bahtsul Masail al-Waqi’iyah, Bahtsul Masail yang berusaha membahas persoalan-persoalan aktual di masyarakat.

Menurut kordinator acara yang juga merangkap sebagai moderator forum, Mukti Ali, Bahtsul Masail kali ini adalah untuk yang kedua kalinya dilaksanakan Rumah Kitab.  Bahtsul Masail yang pertama, dilanksanakan beberapa bulan yang lalu, dan membahas permasalahan yang juga sedang hangat, yaitu “Hukum Kekerasan Atas Nama Agama”. <>

Menurutnya, Bahtsul Masa’il sendiri adalah tradisi orang-orang pesantren, khususnya kaum nahdhiyin dalam membahas dan memutuskan suatu hukum permasalahan yang sedang berkembang di masyarakat, dengan berlandaskan rujukan kitab-kitab kuning (klasik) yang mu’tabarah, yang dipercaya keabsahannya di kalangan pesantren nahdhiyin.

“Karena itu, Bahtsul Masail di Rumah Kitab ini, sebagaimana Bahtsul Masail di kalangan pesantren, diikuti oleh para alumni pesantren yang sudah mahir dan akrab dengan Kitab Kuning. Mereka yang hadir ini adalah alumni-alumni pesantren besar, seperti Lirboyo dan Babakan Ciwaringin. Ada pula beberapa lulusan Universitas al-Azhar al-Syarief Mesir. Jadi artinya kualitas pembahasannya pun insya Allah tidak main-main, dan bisa dipertanggungjawabkan” jelas Mukti Ali.

Bahtsul Masail yang bertempat di sekretariat Rumah Kitab, di kediaman DR KH Affandi Mochtar, wakil sekjen Tanfidzhiyah PBNU ini, dihadiri sedikitnya 28 ustadz dan para pengkaji kitab Kuning. Hadir pula tokoh agama Bekasi, Kiai Romli dan Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Bekasi, DR KH Zamakhsyari Abdul Madjid, MA. Dalam sambutannya, Kiai Zamakhsyari menyampaikan “Bahtsul Masa’il adalah bagian dari tradisi pembahasan di NU, karena itu PCNU Bekasi tertarik dan berkepentingan dengan acara ini. Karena itu untuk penyelenggaraan Bahtsul Masa’il di Rumah Kitab berikutnya, bisa bekerjasama dengan PCNU Bekasi.”

Lebih jauh Kiai yang juga anggota FKUB kota Bekasi ini menghimbau dan mengingatkan bahwa; “Kita ini hidup di Indonesia, negeri yang menjamin kebebasan peribadatan agama-agama yang ada. Banyak ayat al-Qur’an, hadits dan pandangan ulama yang melarang kita untuk melakukan tindakan intoleransi, apalagi anarkis," katanya.

Berkaitan dengan tempat ibadah di Indonesia, khususnya Bekasi, maka ada aturan-aturannya, dari aturan yang bersifat nasional sampai aturan Perda. Bila ditanya apa hukumnya membiarkan pembangunan gereja bila sudah sesuai dengan prosedur dan aturan pemerintah? Yah jelas sekali jawabnya, Islam tidak melarang. Kalau sudah memenuhi aturan, misalnya gereja tersebut dibangun sesuai kebutuhan, telah ada 90 tanda tangan dari anggota jama’ah gereja yang didirikan, dan bila ada 60 tanda tangan persetujuan dari masyarakat setempat. Bila aturan sudah dipenuhi memang tidak ada masalah.

"Sebagai orang NU kita memang toleran, karena NU memegang prinsip tawazun, tasamuh, dan i’tidal. Tetapi kalau seperti NU semua, nampaknya gereja akan terus bertambah banyak. Maka sebagai orang Islam, sebenarnya kan kita inginnya tidak ada gereja. Karena itu aturannya di FKUB kita perketat," katanya.

Sementara Ust. Sa’dullah Affandy, MAg wakil sekretaris PP LDNU yang menjadi narasumber dalam bahtsul masail kali ini menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya, terkait pendirian gereja.

Menurutnya bahwa gereja berbeda dengan masjid, di masjid setiap orang muslim bisa shalat, tidak melihat aliran Islamnya apa. Tidak demikian halnya dengan di gereja. Setiap gereja hanya menjadi tempat ibadah bagi ummat kristiani yang memang sealiran dengan gereja. Bisa saja gerejanya di daerah sini tetapi para jama’ahnya berasal dari luar.

“Perbedaan ini haruslah dipahami betul, agar tidak mudah menuduh bahwa kok ada gerejanya, jama’ahnya di datangkan dari mana-mana, padahal memang anggota jama’ah gereja itu basisnya adalah kesamaan aliran keagamaan dan bukan kesamaan tempat tinggal,” tegas Kang Sa’dun, panggilan akrab Ust. Sa’dullah.

“Dalam melihat persoalan pendirian gereja, jangan dilihat dari subytektifitas kita sebagai umat Islam, tetapi mari kita melihatnya secara obyektif, dalam konteks bernegara Indonesia,” tambah kandidat Doktor UIN Jakarta ini.

Selanjutnya ia mengatakan bahwa fakta di lapangan masih memperlihatkan bahwa umat Kristiani kesulitan mendapatkan izin pendirian gereja, sehingga mereka mencoba menyewa hotel atau ruangan lainnya untuk beribadah. Hal ini dapat protes, bahwa mereka menggunakan tempat umum sebagai tempat ibadah. Ketika ummat Kristiani lalu mencoba beribadah di rumah-rumah penduduk, juga diprotes, bahwa tidak boleh menggunakan rumah penduduk sebagai tempat ibadah. Ini banyak terjadi, karena itu kita membahas masalah ini masalah pendirian gereja. (bersambung)