Warta

Pengelolaan Bencana harus Hargai Budaya, Tradisi dan Kearifan Lokal

Kamis, 21 Desember 2006 | 08:17 WIB

Jakarta, NU Online
Upaya yang dilakukan oleh LSM, pemerintah maupun lembaga-lembaga lainnya dalam membantu mengelola dan mengurangi resiko bencana yang dihadapi masyarakat harus menghargai budaya, tradisi dan kearifan lokal yang dimilikinya.

“Ini penting agar tidak terjadi benturan psikologis dengan masyarakat karena sikap dan perilaku mereka selalu dipengaruhi oleh keyakinan, pengalaman dan pengetahuannya atau al-aadah muhakkamah,” kata Wakil Rais Aam PBNU Dr. KH Tolhah Hasan dalam workshop penyusunan modul pengurangan resiko bencana berbasis pesantren di Jakarta, Kamis.

<>

Hal tersebut telah terbukti di Aceh, khususnya di Simeleu yang masyarakatnya bergegas untuk menyelamatkan diri ke daerah perbukitan saat ada gempa yang disertai dengan tsunami sehingga hanya terdapat beberapa korban dibandingkan dengan daerah lain yang korbannya puluhan ribu.

Mantan rektor Unisma Malang tersebut juga berbagi pengetahuan bahwa model penyuluhan dengan melibatkan orang dalam untuk membantu memberi pengetahuan baru dan mengadakan perubahan karena bisa mengurangi kecurigaan.

“Untuk melakukan perubahan di pesantren di Madura, Unisma memberi beasiswa kepada 18 gus. Ketika mereka pulang, dapat melakukan perubahan di pesantrennya. Kalau kita langsung datang ke pesantren tersebut, akan susah. Jadi yang dibutuhkan kepemimpinan partisipatif, bukan koordinatif, mereka tak cukup diberi modul,” katanya memberi kiat-kiat dalam upaya pemberdayaan pesantren.

Modul pengurangan resiko bencana berbasis pesantren yang disusun oleh PBNU kali ini ini diharapkan dapat memberikan panduan bagi pesantren yang sering menjadi rujukan masyarakat sekitarnya ketika terjadi bencana.

Pendekatan keagamaan daripada pendekatan yang sifatnya ilmiah juga menjadi kunci sukses dalam upaya pemberdayaan komunitas pesantren. Hal tersebut telah terbukti ketika para kyai dilibatkan dalam mensukseskan KB. “Kita menggunakan dalil bahwa kita tak boleh meninggalkan keturunan yang lemah. Rasululah juga melarang mewasiatkan harta untuk fihak lain lebih dari 30 persen,” tuturnya.

Penggunaan pendekatan agama tersebut juga berhasil menghijaukan sebuah perbukitan gundul di Madura. Masyarakat diajari bahwa menanam pohon merupakan amal jariah dan akan mendapat pahala selama pohon tersebut masih hidup.

Dalam penanganan bencana, mantan mentegi agama tersebut juga meminta agar pemberi sumbangan jeli membaca skala prioritas. Dari pengamatannya selama gempa di Jogja, masyarakat lebih lebih mengapresiasi bantuan pembuatan saluran air dari sebuah kelompok non muslim daripada pendirian masjid oleh sebuah partai Islam.

Islam Kita Masih Ritualistik

Pemahaman umat Islam yang masih menganggap ibadah ritual lebih bernilai daripada ibadah yang sifatnya sosial juga menjadi penyebab kurang berkembangnya umat Islam. “Dua puluh persen jamaah haji merupakan orang yang mengulang hajinya. Jika mereka mau mengalokasikan dana 500 milyar yang digunakan tersebut untuk pendidikan umat Islam, hasilnya akan luar biasa,” tandasnya.

Hal yang sama juga terlihat dalam pembangunan masjid dan rumah sakit. “Masyarakat menganggap menyumbang untuk pendirian masjid merupakan ibadah sementara membangun rumah sakit nilai ibadahnya kurang, apalagi untuk pendirian bank, semakin jauh,” tuturnya.

Pemahaman ibadah yang sifatnya masih ritualistik tersebut juga menyebabkan masyarakat kurang memahami resiko bencana yang bisa ditimbulkannya. “Daerah Tuban sampai dengan Gresik yang mayoritas dihuni oleh umat Islam pantainya terancam abrasi. Ini karena masyarakat masih beranggapan menyelamatkan lingkungan bukan bagian dari ibadah,” katanya. (mkf)