Warta

Pemerintah Harus Libatkan Pesantren

NU Online  ·  Kamis, 24 Februari 2005 | 00:21 WIB

Jakarta, NU Online
Kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) secara sistematis dan terencana dalam matriks kerja seperti kegiatan, lokasi, waktu, pekerjaan, dana yang dibutuhkan, sumber dana, penanggung jawab kegiatan, personil yang terlibat dan koordinasi, perlu segera disusun. Pemerintah juga harus melibatkan institusi pesantren untuk membantu memulihkan Aceh paska tsunami, karena pesantren sudah memiliki sistem sosial yang baik.

"Sampai saat ini belum ada perencanaan komprehensip program rehabilitasi dan rekonstruksi untuk Aceh pasca bencana alam gempa dan gelombang tsunami, khususnya yang disusun oleh pemerintah, karena itu lembaga-lembaga sosial dan ormas seperti NU, Muhammadiyah dan lainnya harus dapat menutupi celah ini, " kata ketua PBNU, HM. Rozy Munir kepada NU Online sebelum kunjungan ke pesantren di Lhoksumawe dan Bireun  penerima bantuan PBNU, Kamis (24/2).

<>

Dalam hal ini, kata Rozy yang juga ketua supervior tim PBNU Peduli Tsunami, keadaan darurat hanya diberlakukan dalam jangka pendek atau beberapa bulan, dan sekarang pola berpikirnya harus jangka panjang. Jangka pendek darurat yang perlu dipikirkan antara lain mengaktifkan kembali aktivitas ekonomi dan sosial, serta mendirikan sekolah darurat di sekitar lokasi pengungsian.

Selain itu, mengirimkan siswa yang ada di daerah pengungsian ke sekolah di sekitar lokasi pengungsian, sekaligus dicarikan orang tua asuh, pengadaan tenaga guru, dan rehabilitasi gedung sekolah yang rusak, membangun barak atau ruang kelas di pesantren terutama di daerah bencana pantai utara dan timur.

Sedangkan dalam jangka menengah, kebijakan yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mengisi berkurangnya jumlah penduduk, terutama angkatan kerja secara besar-besaran. Pengganti personil penggerak roda pemerintahan, khususnya dalam bidang pendidikan, perlu direncanakan secara sistematis. "Dalam hal ini, yang perlu dipikirkan adalah apakah perlu mendatangkan angkatan kerja dari luar daerah atau memanfaatkan angkatan kerja lokal. Keduanya memang mempunyai implikasi," ujar dia.

Menurut mantan menag BUMN jaman Gus Dur ini, mendatangkan pekerja dalam jumlah cukup besar bukanlah hal yang tidak beresiko, karena dapat menimbulkan konflik baru, mengingat kecurigaan masyarakat Aceh pada pendatang cukup tinggi. "Sedangkan jika memanfaatkan tenaga kerja lokal, memerlukan waktu, karena mereka perlu masa pelatihan," katanya.

Sementara itu, aktivis LSM Nashikin Hasan menambahkan, pemerintah harus segera membentuk tim khusus yang bertugas menyusun ’grand design’ atau rencana komprehensip program rehabilitasi dan rekonstruksi untuk Aceh, yang dapat dikoordinasikan oleh Bappenas. Proses penyusunannya harus cepat, sekitar dua sampai tiga bulan, transparan dan partisipatif, khususnya dengan melibatkan masyarakat Aceh. "Rencana komprehensip tersebut harus menjadi acuan perencanaan detail, baik yang sektoral maupun yang area, sekaligus menjadi acuan dasar bagi semua pihak yang secara langsung akan melakukan program serupa," ujar dia.

Ditempat yang sama wakil koordinator tim PBNU Peduli Tsunami, Taufiq R Abdulah mengatakan, pemerintah kalau ingin serius membantu memulhkan kondisi Aceh harus melihat dan melibatkan institusi pesantren, karena institusi pesantren sudah memiliki sistem sosial yang baik untuk membantu memulihkan kondisi di sekitarnya. "Pemerintah harus melibatkan dan membantu pesantren, karena sampai saat ini masih minim bantuan yang diberikan pemerintah kepada pesantren, padahal ratusan bahkan ribuan pengungsi dan anak yatim korban tsunami yang ditampung pesantren," kata wakil sekjen PBNU dua periode ini. (cih)