Warta

Pemberantasan Pornografi Harus Dimulai dari Rumah

NU Online  ·  Kamis, 13 November 2003 | 05:24 WIB

Jakarta, NU Online
Pemberantasan fenomena pornografi yang sedang diupayakan pemerintah saat ini lebih utama didahului dari keluarga (rumah), namun UU Anti-pornografi sangat mendesak agar peraturan dan sanksi yang tertuang didalamnya mengikat semua pihak yang melanggar.

Demikian antara lain salah satu kesimpulan dari diskusi panel Majelis Taklim Masyarakat Indonesia di Yaman, yang berlangsung Rabu (12/11) sore waktu setempat di kantor KBRI Sana’a yang dilanjutkan dengan buka puasa bersama.

<>

Acara diskusi tersebut dihadiri, antara lain Kuasa Usaha Ad Intrim (KUAI) KBRI Sana’a, Sumargo Ali Margono, sejumlah staf KBRI dan puluhan mahasiswa yang sedang menimba ilmu di Yaman.

"Menghadapi fenomena pornografi dan pornoaksi yang makin menyesakkan dada di tanah air tidak cukup hanya berbenteng imtak (iman dan takwa), tapi diperlukan UU. Fikih Islam juga mengakui bahwa suatu peraturan yang bersifat mengikat yang dibuat umara (pemerintah) sangat diperlukan," papar Abu Haekal.

Menurut mahasiswa S3 di universitas negeri Omm Darman Islamic University, Khartoum, Sudan, yang bermukim di Sana’a dan tampil sebagai pemakalah pertama, itu mengemukakan bahwa Islam memang dengan rinci menjelaskan batasan-batasan mengenai pornografi.

"Tapi dalam penerapan di lapangan tidak mudah. Kita berusaha agar ketentuan-ketentuan dalam ajaran akhlak Islam tersebut bisa mendominasi dalam UU nanti. Hal ini wajar sebab mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam," ujarnya.

Sementara itu, pemakalah kedua, Fahmi Islam Jiwanto, memaparkan data-data tentang distorsi moral di beberapa masyarakat barat sebagai akibat dari pornografi dan kebebasan hubungan seksual. "Kita akan mengetahui manisnya ajaran Islam apabila kita melihat dahulu akibat dari kerusakan moral yang dialami bangsa lain," papar mahasiswa S2 Universitas Al-Iman, Yaman, itu.

Ia menjelaskan secara rinci ketentuan-ketentuan Islam dalam upaya menghindari kemungkinan terjadinya pornografi. "Meskipun UU Antipornografi tetap diperlukan, namun yang paling utama dahulu adalah mulai dari diri sendiri dan keluarga," katanya menegaskan.

Dalam acara dialog dengan peserta diskusi muncul pertanyaan tentang pacaran dalam Islam. "Kalau yang dimaksud pacaran dalam konteks kekinian yang biasa kita lihat saat ini, jelas itu tidak dibolehkan oleh Islam," kata Abu Haekal.

Islam secara jelas melarang wanita dewasa bepergian dengan laki-laki dewasa yang bukan muhrim. "Tapi apabila seorang pria dewasa berniat berkenalan dengan wanita dewasa untuk tujuan menikah ada aturan mainnya," katanya.

Mengingat waktu diskusi yang terbatas, maka sejumlah peserta mengusulkan agar masukan-masukan dari peserta diskusi bisa disampaikan di sela-sela ceramah tarawih yang berlangsung dua kali seminggu di KBRI.

"Paling tidak diskusi ini adalah salah satu bentuk dari kepedulian kita terhadap masalah yang dihadapi di tanah air. Syukur bila masukan dari hasil diskusi tersebut bisa juga dipertimbangan oleh pihak terkait," kata salah seorang peserta diskusi.(mkf)