Warta

Pelaut Indonesia Masih Belum Terampil

NU Online  ·  Sabtu, 19 Juni 2004 | 00:51 WIB

Jakarta, NU Online
Pelaut Indonesia belum mampu bersaing dengan pelaut asing di dunia internasional terutama jika dibandingkan dengan pelaut Filipina dan hanya 10 persen saja yang bekerja di kapal-kapal Korea.

Ketua Umum Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) Hanafi Rustandi, seusai menyaksikan penyerahan penghargaan kepada lima pelaut Indonesia yang berprestasi oleh perusahaan pelayaran Korea, Hanjin Shipping Co, Ltd. di Jakarta, Jumat, mengatakan saat ini terdapat 1.500 pelaut Indonesia yang bekerja di kapal-kapal Korea, baik kapal kargo, tanker dan kapal ikan.

<>

Mereka bekerja di 15 kapal milik perusahaan pelayaran Korea dan seluruhnya dilindungi Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang ditandatangani KPI dengan pemilik kapal, agen penyalur serta Federation of Korean Seaman Union (FKSU). Sedang yang khusus bekerja di kapal-kapal milik Han Jin Corp 200 orang, sementara yang "stand by" menunggu rotasi sebanyak 100 orang.

Dikatakannya, dewasa ini Korea membutuhkan 200 pelaut Indonesia, baik tingkat perwira maupun bawahan. Namun, dari 1.500 pendaftar yang ikut seleksi tahap pertama, hanya 77 yang lulus. Seleksi tahap kedua akan dilakukan oleh perusahaan Korea. "Kalau dari 77 orang itu 50 persen saja yang lulus, sudah bagus," katanya.

Dia menilai kualitas pelaut Indonesia masih kalah bersaing dengan Filipina. "Di kapal-kapal Korea itu, jumlah pelaut Indonesia hanya 10 persen dibanding Filipina yang mendominasi selama ini," katanya.

Perusahaan pelayaran umumnya mencari pelaut yang sudah pengalaman, tetapi dari sekitar 20.000 pelaut yang menganggur saat ini, tidak banyak yang mampu mengikuti seleksi yang dilakukan perusahaan pelayaran asing. "KPI akan memrioritaskan peningkatan keterampilan pelaut agar mereka dapat disalurkan ke luar negeri," katanya.

Kondisi itu juga dibenarkan oleh Yunita, Manajer PT Sunjin Samudra, ’crew agent’ kapal-kapal Korea di Indonesia. Dia menyebut beberapa kendala dalam merekrut pelaut Indonesia, di antaranya kurang terampil, rendahnya sikap mental, reputasi pelaut Indonesia yang semula baik, sopan dan penurut mulai pudar. Selain itu tidak adanya sanksi yang tegas bagi pelaut yang mengingkari kontrak kerja atau melakukan tindak pidana. Pernyataan Yunita ini tidak dibantah Hanafi.

Pelaut Indonesia, kata Hanafi, ada yang berani melawan atasan, malas, peminum, bahkan ada yang terlibat tindak pidana dan narkoba. Terhadap mereka yang melakukan pelanggaran berat (tindak pidana dan narkoba), mestinya dikenai sanksi tegas, misalnya tidak diberi paspor untuk sementara waktu.

Pemerintah seharusnya juga melakukan pembinaan terhadap warga negaranya yang bekerja di luar negeri (termasuk pelaut), seperti yang dilakukan oleh pemerintah Filipina.

Terlepas dari masalah tersebut, baik Hanafi maupun Yunita menilai, pemberian penghargaan ini sekaligus mematahkan mitos selama ini bahwa pelaut Indonesia yang bekerja di kapal-kapal Korea diperlakukan tidak manusiawi.

Ini bisa dibuktikan dengan cepatnya adaptasi yang dilakukan pelaut Indonesia dengan pelaut asing sejak naik kapal, sehingga komunikasi berjalan dengan baik.

Hanafi mengambil contoh, dalam menangkap ikan awak kapal (asing) selalu mengutamakan konsentrasi dan kerja keras. Sikap keras ini sering kali ditanggapi berbeda oleh pelaut Indonesia, sehingga terjadi salah paham yang terkadang berlanjut dengan pemukulan. 

"Tapi sekarang kondisi itu tidak lagi demikian. Mereka sudah saling pengertian, mudah beradaptasi, sehingga jarang terjadi salah paham," katanya.(mkf/an)