PBNU Tak Setuju Subsidi BBM Motor Dihapus, Perlu Special Policy
NU Online · Jumat, 4 Juni 2010 | 04:49 WIB
Ketua PBNU Prof Dr M Maksum menilai rencana pemerintah untuk menghapuskan subsidi BBM, termasuk bagi pengguna sepeda motor dinilainya kebijakan yang salah. Pengguna motor menurutnya kelompok yang masih layak mendapat subsidi negara.
Guru besar pertanian Universitas Gajah Mada (UGM) ini sepakat, tak semua kelompok masyarakat berhak mendapatkan subsidi, karena itu, ada kebijakan umum (common policy) dan kebijakan khusus (special policy). Jangan sampai dibuat kebijakan umum untuk menghapuskan subsidi yang akhirnya mencekik masyarakat banyak.<>
“Ada kebijakan yang disebut sebagai kebijakan umum dan kebijakan khusus, beras murah, transportasi umum murah, ini harus special policy, sehingga yang diuntungkan itu mereka yang berhak, bukan seperti sekarang ini,” katanya kepada NU Online, Jum’at (4/6).
Pemberian subsidi BBM saat ini yang tak membedakan antara pemilik mobil yang bisa dikategorikan kelompok mampu, pengguna motor dan transportasi publik menunjukkan kelemahan pemerintah dalam menerapkan subsidi sehingga kelompok kaya yang malah menikmati subsidi paling banyak.
“Kenapa pemerintah menjadi kewalahan dalam menerapkan subsidi BBM, karena yang menikmati merupakan orang kaya, bukan teman-teman pengguna sepeda motor, makaanya harus didibuat special policy,” terangnya.
Hal yang sama juga harus berlaku buat kebijakan beras murah, ini tidak bisa diterapkan kepada seluruh kelompok karena akan menyengsarakan kelompok petani yang terpaksa mensubsidi golongan lainnya yang kaya. “Masak petani harus mensubsidi professor dengan beras murah,” tanyanya.
Moral Hazard
Sayangnya, upaya pemerintah untuk memberikan subsidi bagi kelompok masyarakat yang membutuhkan terhambat oleh ulah birokrasinya sendiri dengan berbagai tindakan untuk mengambil keuntungan yang seharusnya diperuntukkan bagi si miskin.
“Haknya si miskin di embat, moral hazard ini terjadi pada tingkat yang paling tinggi sampai tingkat paling rendah,” tandasnya.
Sebagai pakar pertanian, ia menilai, moral hazard yang paling besar terjadi pada sektor ini. Penduduk miskin yang seharusnya mendapatkan raskin ternyata hanya mendapatkan rasnguk (beras penguk) yang tidak layak di makan.
“Raskin itu book valuenya, 5913 per kg, yang diterima, nahdliyyin tidak pernah raskin, tapi rasnguk, beras penguk (bau), dengan harga separuhnya,” tandasnya.
Kebijakan subsidi BBM juga rawan mengalami hal seperti itu, kenikmatannya di jual kepada kelompok yang seharusnya tidak berhak menikmati subsidi.
“Kita sudah terjebak dalam modus birokrasi yang memberikan contoh buruk. Bagaimana yang kecil tidak berperilaku yang sama, dan makmun terhadap kelakuan para umara ini,” ujarnya.
Karena itu, perlu dilakukan penataan yang benar, mulai dari kebijakannya, pengawalan program dan kualitas kontrolnya. Mereka yang berhak mendapatkan subsidi merupakan kelompok masyarakat yang menggunakannya untuk kepentingan ekonomi.
“Mereka mengandalkan BBM subsidi sepenuhnya sebagai alat ekonomi, karena tidak memiliki kesempatan ekonomi. Mereka korban pembangunan nasional, para petani, nelayan, karena tidak memperoleh keuntungan pembangunan nasional yang hingar-bingar dan termarginalkan, kompensasinya diberikan subsidi atas pembangunan yang tak pro rakyat,” tegasnya. (mkf)
Terpopuler
1
Gus Yahya Sampaikan Selamat kepada Juara Kaligrafi Internasional Asal Indonesia
2
LBH Ansor Terima Laporan PMI Terlantar Korban TPPO di Kamboja, Butuh Perlindungan dari Negara
3
Dukung Program Ketahanan Pangan, PWNU-HKTI Jabar Perkenalkan Teknologi Padi Empat Kali Panen
4
Menbud Fadli Zon Klaim Penulisan Ulang Sejarah Nasional Sedang Uji Publik
5
Guru Didenda Rp25 Juta, Ketum PBNU Soroti Minimnya Apresiasi dari Wali Murid
6
Kurangi Ketergantungan Gadget, Menteri PPPA Ajak Anak Hidupkan Permainan Tradisional
Terkini
Lihat Semua