Warta

PBNU Minta Nahdliyyin Tanggapi dengan Kepala Dingin Hari Pembakaran Qur’an

NU Online  ·  Jumat, 27 Agustus 2010 | 08:10 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua PBNU Slamet Effendy Yusuf meminta agar Nahdliyyin atau warga NU menanggapi dengan kepala dingin hari pembakaran Qur’an yang akan dilakukan pada 11 September 2010, bertepatan dengan Idul Fitri, yang dilakukan oleh sekelompok kecil orang di Florida Amerika Serikat.

“Ini merupakan provokasi untuk membuat umat Islam marah. Dengan jiwa besar, kita harus menahan kegilaan, jangan sampai ditanggapi dengan kegilaan juga. Kalau ini kita lakukan, provokasi mereka berhasil,” katanya ketika menerima rombongan dari Gerakan Peduli Pluralisme di gedung PBNU, Jum’at (27/8).<>

Slamet percaya bahwa apa yang dilakukan oleh sekelompok kecil pengikut Kristen ini tidak mencerminkan pandangan umum umat Kristiani. “Pembakaran kitab suci, pasti sangat menodai prinsip keagamaan yang membakar itu sendiri, bukan hanya pemeluk kitab suci yang dibakar,” terangnya.

Ditambahkannya, upaya menjaga kerukunan beragama sangat penting karena menjadi basis bagi kerukunan masyarakat, kerukunan bangsa dan kerukunan antar negara.

Ia berharap pemerintah Amerika juga mengkomunikasikan kepada rakyatnya bahwa upaya yang dilakukan segelintir orang ini menyebabkan umat Islam terluka. Kejadian ini, meskipun baru rencana, tetapi sudah menyakitkan dan menujukkan ketidakberdayaan serta kebangkrutan nilai-nilai keamerikaan, seperti kebebasan dan kesetaraan yang selama berabad-abad lalu terus diperjuangkan, seperti upaya keseteraan antara kulit putih dan hitam, pribumi dan pendatang dari Eropa yang pada akhirnya telah menjadikan Amerika saat ini sebagai tempat pertemuan (melting port).

Selanjutnya, dari kejadian ini, Slamet mengemukaan ada sebuah pertanyaan mendasar, ketika pemerintah dalam kaitan dengan kebebasan beragama tidak ikut serta, tetapi disisi lain ada upaya pencederaan terhadap hubungan antara agama, akan muncul sebuah problem.

Selain itu, PBNU juga berharap agar pemerintah Indonesia juga melakukan antisipasi agar muslim Indonesia tidak terprovokasi atas tindakan ini.

Ketua Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) Sastro Al Ngatawi mengaku ngeri jika rencana pembakarana ini benar-benar terjadi. Hal ini menurutnya bukan hanya persoalan penistaan agama, tetapi sudah menyangkut masalah kemanusiaan.

“NU tanpa capek memperjuangkan toleransi dan pluralisme, tetapi tiba-tiba dihadapkan pada persoalan yang menohok jantung kita. Kebebasan dan liberalisme yang berlebihan akan memakan korban, yaitu pluralisme itu sendiri,” terangnya.

Romo Magnis Suseno yang juga hadir pada pertemuan tersebut menyesalkan atas adanya rencana tersebut. Dari sudut pandang gereja Katolik, ajaran agama lain perlu dihormati karena mereka memiliki unsur kebenaran dan kebaikan,” katanya.

Dijelaskannya, dalam ajaran Katolik, Yesus mengancam dengan pengadilan terakhir mereka yang menghina orang lain sebagai tidak beriman, apalagi mereka yang menghina kitab suci.

Ia menegaskan, para perencana merupakan sebuah kelompok kecil di luar main stream, yang juga menganggap gereja Katolik sebagai kafir dan mereka tidak memperdulikan kepada fihak lain yang merasa terganggu.

Romo Magnis memahami jika hal ini benar-benar dilakukan, umat Islam akan melakukan protes, tetapi ia berharap hal ini dilakukan dengan tanpa kekerasan karena akan menimbulkan korban bagi yang tak bersalah.

Sementara itu Pendeta Shepard Supit dari Gereja Bethel Indonesia (GBI) juga menegaskan, upaya seperti itu jelas-jelas mencederai iman Kristiani karena agama mengajarkan “Kasihilah tuhanmu dan sesama manusia”

Ia berharap hal ini bisa ditanggapi secara dewasa dan menjadikan peristiwa ini sebagai momentum untuk memperkuat solidaritas dan menunjukkan umat beragama di Indonesia bertanggung jawab atas suasana damai. “Kita akan buktikan bahwa Indonesia tidak terpancing,” tegasnya. (mkf)