Warta

OJK Jalan Keluar Kebuntuan Intermediasi Perbankan

NU Online  ·  Sabtu, 23 Oktober 2004 | 06:18 WIB

Jakarta, NU Online
Hingga saat ini fungsi intermediasi perbankan (penyaluran dana pihak ketiga kepada basis industri masyarakat dalam bentuk pinjaman kredit) perbankan masih belum berjalan optimal.

Padahal jumlah dana masyarakat yang disimpan perbankan nasional mencapai Rp 190 hingga Rp 230 triliun. Jumlah itu belum termasuk dana di luar pihak ketiga yang bila digabungkan saat ini mencapai Rp 900 triliun (BI: 22/10). Bukankah jumlah itu lebih fantastis bila dibandingkan dengan jumlah dana yang dikelola perusahaan efek yang hanya sebesar Rp 106 triliun?

<>

Hingga hari ini, persentase terbesar pengelolaan dana perbankan nasional tersebut masih di sektor bisnis surat hutang (obligasi) baik obligasi yang diterbitkan swasta, Sertifikat Bank Indonesia (SBI), maupun pemerintah.

Akibat kebijakan sektor perbankan yang mengingkari fungsi intermediasi yang seharusnya dijalankannya itu. Sektor riil belum menampakkan perkembangan yang berarti. Sehingga, terhitung sejak krisis perbankan pada 1997 hingga hari ini, penyehatan perbankan belum memberikan kontribusi berarti bagi pengembangan perekonomian masyarakat.

Kehati-hatian yang menjadi bagian resep IMF untuk menyehatkan perbankan nasional itu boleh dikatakan untuk saat ini kebablasan. “Bila sebelum krisis ekonomi 1997, collateral (jaminan kredit) yang dipersaratkan jumlahnya senilai total pinjaman, setelah krisis nilai collateral sampai dua kali lipat,”kata Muhammad Yusuf Erwin Faishal, anggota DPR RI dari FKB kepada NU Online, Sabtu (23/10).

Menurut politisi yang sebelum meraih gelar doktor ekonomi sempat menyelesaikan kuliah jurusan keuangan perusahaan di University of Hull UK itu, kebekuan fungsi intermediasi perbankan akan bisa dicairkan bila Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah berhasil dibentuk.

”Bila RUU OJK sudah disahkan, dan OJK selesai dibentuk, tentu dalam akselerasi pencairan kredit akan lebih bagus. Sebab, kalau dia punya suatu back up, dia tidak akan ragu-ragu dalam memberikan kredit kepada masyarakat atau sektor riil,”jawab anggota DPR RI yang kini masih menjadi Komisaris PT Miwon ini. 

OJK adalah lembaga yang akan mengatur dan mengawasi perbankan, termasuk industri non perbankan seperti pasar modal, dana pensiun, modal ventura, lembaga pembiayaan, pegadaian dan asuransi.

Untuk membentuk regulasi baru di bidang perbankan non bank ini, dalam pasal 34 Undang Undang No. 23/1999 mengenai Bank Indonesia (BI) dicantumkan perintah kepada pemerintah untuk membentuk Otoritas Jasa Keuangan yang independen, selambat-lambatnya akhir tahun 2002.

Namun, prosesnya berjalan alot, karena itu, hingga hari ini, belum juga terbentuk. Sebabnya,  undang-undang yang akan memayungi OJK belum juga disahkan. 

Meski OJK penting untuk menormalkan kembali fungsi intermediasi perbankan. Politisi yang akrab dipanggil dengan sebutan pendek Yusuf Faishal ini tidak mau gegabah. Dia mengatakan,”Kita harus melihat dampaknya (pembentukan OJK: Red.) terhadap seluruh sistem yang terkait di dalamnya nanti. Termasuk pasar modal, dan semua institusi yang akan masuk di dalamnya harus dievaluasi,”ujar Yusuf Faishal tegas.

Merujuk latar belakang munculnya gagasan OJK di negara-negara yang saat ini menerapkannya, berawal dari penilaian atas "kegagalan" bank-bank sentral di negara-negara itu dalam menjalankan fungsi dan perannya untuk menciptakan kestabilan sektor keuangan dan khususnya dalam menciptakan sistem perbankan yang sehat (sound banking sistem).

Demikian pula di Indonesia, gagasan OJK  bukan hanya merujuk kecenderungan dalam sistem industri keuangan dunia.   Lebih dari itu, krisis ekonomi  pada 1997 yang berujung dengan likuidasi 16 bank nasional, sebagian dianggap sebagai akibat kegagalan pengawasan BI kepada bank – bank tersebut.

Meski demikian, gagasan OJK baru sampai kepada RUU OJK. Pembentukannya belum berhasil dilakukan. Karena belum juga terbentuk, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang sedianya disiapkan untuk menggantikan program penjaminan simpanan dibawa BPPN pun tidak juga terbentuk. Bahkan, sampai dengan hari ini, setelah BPPN resmi bubar awal 2004. 

Menurut Yusuf Faishal, sumber persoalannya tentu terkait dengan fungsi sistem OJK sebagai badan regulasi keuangan yang akan memayungi LPS, RUU-nya belum disahkan.  

Masyarakat pun dibuat ketar – ketir, khususnya para investor yang menyimpan uang lebihnya di perbankan saat ini. Pasalnya, mereka menangkap pesan dari pencabutan izin usaha Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali (BDB) oleh Bank Indonesia waktu itu, sebagai bentuk lemahnya pengawasa