Setelah semalaman menggelar lomba demi lomba keagamaan sebagai pembuka rangakaian Harlahnya yang ke-10, Sabtu (23/10) sore, PCINU Malaysia mengadakan diskusi dan seminar di Aula Hasanudin KBRI Kuala Lumpur.
Acara yang dimulai pukul 16.00 WKL (Waktu Kuala Lumpur) ini menghadirkan pemateri-pemateri prolifik baik dari Tanah Air maupun Malaysia.Acara dimulai dengan diskusi bertajuk “Pemerintah dan Tenaga Kerja; Permasalahan dan Solusinya”.<>
Usai shalat Maghrib, acara dilanjutkan dengan seminar bertemakan “Internasionalisasi Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) sebagai Ideologi Keagamaan yang Ramah dan Toleran.”
Seminar akademik-intelektual ini menghadirkan Prof Dr Nasaruddin Umar, MA, guru besar tafsir UIN Jakarta, Datuk Nakhaie Ahmad, Mantan Ketua Yayasan Dakwah Islamiyah Malaysia, dan Kiai Ahmad Muwafiq dari Yogyakarta.
Seminar dibuka oleh Sofwan Hadi, mahasiswa pasca sarjana International Islamic University Malaysia selaku moderator. Peserta terlihat antusias menanti perbincangan hangat seputar Aswaja dan relevansinya di era kontemporer.
Datuk Ahmad yang diberi kesempatan pertama menguraikan secara panjang lebar tentang Aswaja yang merupakan madzhab resmi Islam di Malaysia.
“Malaysia sebagai negara Islam telah mengukuhkan Aswaja, lebih khusus Syafi’i dalam fikih, sebagai madzhab negara. Hal ini bukan berarti menganggap Aswaja sebagai satu-satunya aliran benar dalam Islam dan menyalahkan yang lain. Alasan utama kami (Malaysia) menjadikannya madzhab resmi adalah demi stabilitas nasional,” tuturnya secara lembut di orasi.
Masih menurut Datuk Ahmad, jika negara tidak meresmikan salah satu madzhab, maka hal ini bisa berujung pada eksklusivisme beragama di masyarakat, tak mustahil menimbulkan perseteruan dan perpecahan di kalangan masyarakat Islam.
Menariknya, Malaysia tidak mengaplikasikan Aswaja secara sempit.Tak jarang, dalam beberapa hukum partikular, pemerintah mempertimbangkan dan bahkan memutuskan untuk menggunakan pendapat di luar Syafi’i yang dianggap lebih relevan dengan problematika umat.
Presentator kedua, Kiai Muwafiq, lebih menjelaskan pentingnya akulturasi budaya dalam Islamisasi bangsa Indonesia. ia menuturkan sejarah panjang Islam nusantara yang dianggap gagal ketika dipegang oleh para saudagar Arab, lalu mencapai masa puncaknya di tangan Walisongo dan para penerusnya
“Sebelum Islam masuk, Indonesia telah memiliki peradaban yang mapan.Maka sulit bagi penyebar agama Islam untuk membumikan Islam versi Arab.Islam harus dipoles menjadi Islam Indonesia agar diterima. Dan ini, berhasil dilakukan oleh Wali Songo,” katanya.
Teorinya yang telah terbuktikan oleh sejarah itu didukung Nasaruddin Umar ketika menyampaikan materinya. Presentator terakhir ini meyakini bahwa Islam Rasulullah yang literal akan menjadi paradigma deduktif-kualitatif ketika diimplikasikan pada kehidupan modern yang induktif-kuantitatif.
Menurutnya, Islam Indonesia harus mampu menjadi Islam yang toleran dan moderat, bukan Islam ortodoks ala Arab atau liberal ala Barat. Oleh karena itu, ketika generasi muda NU terkepung dengan berbagai ideologi 'import' yang menjanjikan segala macam keindahan retoriknya baik itu ideologi kanan maupun kiri sehingga menimbullkan keresahan identitas (split identity),
“NU menawarkan jalan terbaik sebagai penyelamat terhadap fenomena global ini. Dengan kata lain, warga NU harus kembali memegang teguh doktrin inti Aswaja yang sudah ditinggalkan generasi anak muda NU dewasa ini,” terangnya.
Sesi tanya jawab berlangsung cukup riuh karena banyaknya peserta yang ingin bertanya. Polemik menarik yang ditanyakan oleh salah seorang peserta adalah fenomena fundamentalisme radikal. Sedangkan seorang penanya lain memperkarakan eksistensi kaum liberal yang ekstrim.
Menanggapi hal ini, Nasaruddin mengingatkan pentingnya berada di posisi tengah. “Kaum liberal terlalu ekstrim karena selalu meng-ayat-isasi isu-isu dari Barat. Di sisi lain, kaum fundamental juga sering bermimpi di siang bolong dengan mengkampanyekan khilafah Islamiyyah. Bahkan terkadang, mengambil jalan pintas dengan pergi berperang,” tegasnya.
Lebih jauh, ia menyayangkan kemunculan kaum fundamental yang lebih sering berasal dari basis umum non-religius. Mantan Katib Aam PBNU ini menyampaikan
“Alumni pesantren yang lalu menjadi terbuka dalam mengaplikasikan Islam adalah niscaya mengingat kompetensi mereka dalam memahami konteks terhadap teks-teks religius.Yang mengherankan adalah akademisi eksakta yang tak memiliki kapabilitas agama namun sesumbar dengan doktrin-doktrin prematurnya. Lebih-lebih, kalangan minoritas ini berani menyalahkan golongan mayoritas ulama di Indonesia. Ini fenomena lucu.”
Seminar berakhir ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul 22.00 WKL. “Saya puas dengan seminar ini.Khususnya orasi serta penjelasan Prof Nasaruddin yang objektif. NU harus mampu menjaga akidah bangsa dan agama rakyat agar tetap menjadi ideologi aplikatif yang moderat,” ujar salah satu peserta di akhir acara.
Sebagai lanjutan rangkaian Harlah PCINU Malaysia ke 10, Ahad 24 Oktober digelar pengajian umum oleh KH Said Aqil Siradj. (mqd)
Terpopuler
1
Inilah Niat Puasa Asyura Lengkap dengan Latin dan Terjemahnya
2
10 Muharram Waktu Terjadinya 7 Peristiwa Penting Para Nabi
3
Khutbah Jumat: Memaknai Muharram dan Fluktuasi Kehidupan
4
Khutbah Jumat: Meraih Ampunan Melalui Amal Kebaikan di Bulan Muharram
5
Doa-Doa Pilihan di Hari Asyura, Dapat Hindarkan dari Matinya Hati
6
Khutbah Jumat: Keistimewaan Berbakti Kepada Kedua Orang Tua
Terkini
Lihat Semua