Nahdlatul Ulama sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia memiliki warga dengan beragam corak dan latar belakang. Semua potensi tersebut harus dimanfaatkan untuk pengembangan dan kemajuan NU.
Demikian pemikiran dari Mantan Ketua Umum GP Ansor Slamet Effendy Yusuf dalam diskusi “Implementasi Khittah Nahdliyyah dalam Praktik Politik Pasca Reformasi" baru-baru ini.<>
“Saya ingin pengurus dari semua unsur, supaya NU bisa menjawab persoalan dari potensi-potensi itu. Kalau orang bicara tentang konsep universitas, sudah ada orangnya. Bicara anggaran kesehatan, sudah ada orangnya, demikian juga, NU menyediakan kader-kadernya untuk duduk di pemerintahan,” katanya.
Dengan cara demikian, Anggota DPR RI dari FPG ini berpendapat, NU tidak perlu lagi memanggil orang lain diluar NU yang ahli dalam sebuah bidang karena semuanya sudah diakomodir disana.
Meskipun begitu, tak lupa, ia mengingatkan agar orang yang akan jadi pengurus tersebut sudah jelas-jelas memiliki komitmen yang kuat terhadap NU. “Kita memang berasal dari berbagai latar belakang, tetapi ketika kita disini, kita harus berbicara tentang NU, bukan berbicara dari mana kita berasal,” tandasnya.
Menurutnya, keragaman latar belakang pengurus ini harus mencakup seluruh tingkatan, mulai dari PBNU, PWNU sampai ke tingkat ranting. “Dan semua itu harus didirigeni oleh ketua. Ketua harus hidup dengan dana operasional yang memadai untuk menjalankan organisasi,” katanya.
Karena peran ketua sebagai dirigen, Ia berpendapat bahwa sang ketua harus benar-benar netral, tidak boleh melakukan rangkap jabatan yang sekiranya bisa mengganggu posisinya di NU.
Fuad Anwar, Ketua Umum Pagar Nusa yang hadir dalam pertemuan tersebut mengakui adanya beberapa kendala pada posisi ketua cabang NU di berbagai daerah. Dari pengamatannya, pelarangan rangkap jabatan politik juga masih menimbulkan persoalan. Dalam beberapa konferensi cabang, dipilihkan ketua yang menjadi PNS dengan posisi sebagai kepala dinas.
“Karena posisinya sebagai bawahan bupati, akhirnya ia sering dimanfaatkan bupati untuk menggolkan kepentingannya, baik kepentingan kelancaran birokrasi atau kepentingan politik bupati,” ujaranya.
Prof. Masykuri Abdillah juga mengusulkan agar orang nomer satu dalam sebuah kedudukan birokrasi seperti dirjen atau sekjen juga tidak boleh menjadi orang nomer satu di NU, tetapi sepakat jika para pembantunya berasal dari berbagi latar belakang.
“Kalau merekrut, orang-orang yang sudah banyak terlibat di NU, mereka jam terbangnya di NU harus sudah bagus sehingga tidak emosional,” tandasnya.
Kekhawatiran ini dilandasi seringnya terjadi konflik kepentingan di NU yang seringkali disebabkan oleh persoalan-persoalan yang sifatnya pragmatis sehingga potensi yang merugikan ini jangan sampai terjadi. (mkf)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menyiapkan Bekal Akhirat Sebelum Datang Kematian
2
Khutbah Jumat: Tetap Tenang dan Berpikir jernih di Tengah Arus Teknologi Informasi
3
Resmi Dilantik, Berikut Susunan Lengkap Pengurus PP ISNU Masa Khidmah 2025-2030
4
Ramai Bendera One Piece, Begini Peran Bendera Hitam dalam Revolusi Abbasiyah
5
Innalillahi, Menag 2009-2014 Suryadharma Ali Meninggal Dunia
6
Pemerintah Umumkan 18 Agustus 2025 sebagai Hari Libur Nasional
Terkini
Lihat Semua