Warta

Menghadang Laju Para Kacu

NU Online  ·  Rabu, 17 Desember 2003 | 00:52 WIB

Jakarta, NU Online.
Kacu dalam khasanah  jawa berarti begal atau perompak, keberadaan mereka selalu menyusahkan rakyat. Fenomena Munculnya para kacu inilah yang kemarin didiskusikan oleh beberapa aktivis di Jakarta (16/12). Liberalisasi politik yang terjadi di saat transisi ini memberi peluang para perompak menguasi lembaga formal kepemerintahan, seperti DPR, eksekutif, serta lembaga-lembaga formal lainnya.

Mereka ini para pencuri finish dan penumpang gelap gerakan reformasi, demi mendapatkan keuntungan ekonomi dan politik dalam situasi ketidakpastian ini, demikian Syafiek Alaeha, koordinator FPPI, yang juga mantan aktivis PMII ini mengulas.  Menurut Mahasiswa STF Dyirkara ini, jika para kacu ini dibiarkan, maka pemilu ini akan banyak diisi oleh orang-orang berkarakter seperti itu.

<>

Mereka harus di hadang, jika tidak maka pemilu 2004 akan menjadi ajang bagi mereka untuk menancapkan akar kekuasaannya makin dalam, ini berbahaya! Peringatnya kepada NU Online. Ia menyambut upaya teman-temen NGO, cendekiawan, jurnalis yang akan beraliansi melakukan pengawasan permanen melalui negative campaign terhadap para calon legislatif itu.

Keprihatinan yang sama juga ditunjukkan oleh E Shobirin Naj, Wakil Direktur LP3ES, yang juga ikut terlibat aktif dalam diskusi tersebut. Tidak ada jalan lain, kekuatan demokrasi harus bersatu kembali. “Lama sudah kita terdiam, beku, serta tak mampu berbuat apa-apa, sekarang saatnya untuk rekonsolidasi gerakan demokrasi untuk menghadang para kacu yang berkeliaran,” ungkapnya.

Enceng melihat para kacu ini akan banyak menggunakan politik uang di dalam menggalang dukungan politiknya. Segala cara akan dilakukan, cara-cara haram pun akan mereka tempuh demi tujuan kekuasaan. “Gerakan ini harus diperluas pada kekuatan-kekuatan lain di luar NGO, cendekiawan, ataupun jurnalis, organisasi seperti NU atau Muhammadiyah perlu diajak aliansi. Mereka kan kekuatan real di negeri ini, Sebab bila mereka ikut terdiam, maka sama saja membiarkan bangunan rumah baru untuk itu ditempati para pencoleng,” tambahnya.

Cara pandang berbeda, diungkapkan oleh Darmaningtyas, pengamat pendidikan, kepada NU Online , ia miris melihat kekuatan alternatif demokrasi seperti kelompok civil society yang kian hari kian kendor. Mereka seolah menjadi penonton dipinggir, sementara seluruh pemain, wasit, serta lapangannya rusak parah. Kekuatan ini harus direnda kembali, forum civil society harus diramaikan kembali, mesti sering berujung pada ketidakjelasan.”Harus ada upaya terus-menerus yang tidak kenal lelah untuk menjaga kelangsungan demokrasi, sebab apa kita rela di negeri ini dipimpin oleh para Kacu, yang keberadannya selalu menyengsarakan rakyat,” tegasnya (AA)