Dalam sejarahnya, ketika Nahdlatul Ulama (NU) masih menjadi jamiyyah diniyah Islamiyah secara murni antara tahun 1926-1953, NU bebas dari konflik. Namun, setelah menjadi partai politik, NU terus dirundung konflik internal.
“Politik merupakan wilayah konflik, karena adanya perebutan sumberdaya yang terbatas, hanya ada satu presiden di Indonesia, hanya ada satu gubernur di propinsi. Sementara pelayanan ke bawah tak terbatas dan ini akan menyatukan posisi NU,” kata Ketua PBNU Masdar F Mas’udi.<>
Karena itu, jika memaksimalkan energi untuk kepentingan ummat, secara struktural, NU harus mampu menjangkau lapisan masyarakat yang paling bawah sehingga secara fungsional, akan dekat dengan ummat.
“Ini seperti hadist qudsi, jika mendekat satu langkah, maka umat akan mendekat dua langkah, jika berjalan, umat akan berlari, konsepnya sama seperti ini. Umat bukannya tidak tahu membalas budi,” paparnya.
Peran NU yang berdaya dinilainya penting sebagai kekuatan masyarakat untuk mengontrol negara dari penyalahgunaan kekuasaan sehingga demokrasi bisa berjalan dengan baik karena ada fungsi kontrol. Hal ini seperti yang terjadi di Eropa yang mana, LSM asalnya merupakan lembaga-lembaga gereja.
“Hanya NU yang bisa menjadi sparing partner negara untuk mencegah timbulnya korupsi. Sayangnya, Indonesia merupakan negara yang memberangus kekuatan sosial,” imbuhnya. (mkf)
Terpopuler
1
Dilantik, Berikut Susunan Lengkap Idarah 'Aliyah JATMAN Masa Khidmah 2025-2030
2
Penggubah Syiir Tanpo Waton Bakal Lantunkan Al-Qur’an dan Shalawat di Pelantikan JATMAN
3
Rais Aam PBNU: Para Ulama Tarekat di NU Ada di JATMAN
4
Gencatan Senjata Israel-Hamas
5
Khutbah Jumat: Muharram, Bulan Hijrah Menuju Kepedulian Sosial
6
Gus Yahya: NU Berpegang dengan Dua Tradisi Tarekat dan Syariat
Terkini
Lihat Semua