Jakarta, NU Online
Mengerikan! Ketika rakyat menjerit ditindih persoalan ekonomi, justru para wakilnya di dewan bermandi kekayaan hasil korupsi. Dalam setahun terakhir, angka korupsi wakil rakyat di beberapa daerah meningkat 100%.
Hal itu terungkap dari laporan Kejaksaan Agung yang menyebutkan, 270 dari 690 kasus korupsi yang dilaporkan ke kejaksaan selama periode Januari 2003 hingga April 2004 adalah skandal korupsi yang melibatkan anggota DPRD. Sekitar 106 perkara di antara jumlah tersebut sudah dilimpahkan kejaksaan ke pengadilan.
<>"Kasus korupsi itu umumnya dipicu penyalahgunaan APBD," jelas Kapuspenkum Kejagung Kemas Yahya Rahman di Jakarta beberapa waktu lalu.
Menurut dia, angka tersebut meningkat tajam dibandingkan angka penanganan korupsi sebelum otonomi daerah digulirkan pada 1 Januari 2001. Bahkan, peningkatannya diprediksikan lebih dari 100 persen.
"Salah satu perkara korupsi di daerah yang cukup fenomenal adalah yang terjadi di DPRD Sumbar (Sumatera Barat) yang melibatkan 43 anggota dewan. Kami menyebutnya sebagai korupsi berjamaah," jelas mantan wakil kepala Kejati Riau tersebut.
Penyalahgunaan anggaran di daerah, lanjut Kemas, terjadi di hampir setiap provinsi. Selain di Sumbar, kejaksaan menangani skandal korupsi di DPRD Pontianak, Singkawang, Tangerang, Banda Aceh, Bandar Lampung, Palembang, Ciamis, Singkawang, serta Mempawah.
Kemas berjanji, Kejagung bakal melanjutkan penanganan skandal korupsi tersebut ke pengadilan. Sayangnya, sejauh ini, penyidikannya banyak dihambat birokrasi izin pemeriksaan dari pejabat atasannya.
Seperti diketahui, pemeriksaan terhadap pejabat yang diduga berkorupsi dilakukan secara berjenjang. Misalnya, pemeriksaan anggota DPRD kota/kabupaten dan bupati/wali kota harus memperoleh izin dari gubernur. Sedangkan pemeriksaan pejabat setingkat gubernur harus memperoleh izin dari presiden.
Secara terpisah, mantan Menteri Otonomi Daerah Ryaas Rasyid menyatakan, tingginya angka korupsi di daerah tersebut disebabkan pemahaman yang salah terhadap UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Atas dalih pelaksanaan otonomi daerah, baik kepala daerah maupun anggota dewan sering menghalalkan segala cara untuk melaksanakan kebijakan di daerah, termasuk memanipulasi anggaran. "Ironisnya, permasalahan itu terlambat dikoreksi pemerintah (pusat)," tegasnya di Jakarta kemarin.
Indikasinya terlihat, Depdagri hingga kini belum membuat PP pengganti PP Nomor 110/2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD. Padahal, peraturan tersebut sudah dinyatakan MA tidak berlaku pada putusannya tertanggal 9 September 2002.
Praktis, karena kekosongan hukum tersebut, mekanisme keuangan alokasi dana di daerah menjadi tidak jelas. BPK atau badan internal audit pemerintah lainnya, menurut Ryaas, tak bisa menyentuh pengelolaan anggaran di daerah. "Pemerintah pusat dan badan audit hanya bisa memeriksa lewat APBD," ungkap Ryaas yang juga ketua umum PPDK itu.
Menurut dia, sejauh ini, yang menyusun anggaran adalah Komisi Anggaran DPRD dan pemerintah daerah. Namun, dalam praktiknya, penyusunan anggaran itu biasanya dipenuhi intervensi dan lebih condong untuk kepentingan kroninya. (MA/ip)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Membumikan Akhlak Nabi di Tengah Krisis Keteladanan
2
Guru Madin Didenda Rp25 Juta, Ketua FKDT: Jangan Kriminalisasi
3
Khutbah Jumat: Meneguhkan Qanaah dan Syukur di Tengah Arus Hedonisme
4
Gus Yahya Dorong Kiai Muda dan Alumni Pesantren Aktif di Organisasi NU
5
Khutbah Jumat: Menolong Sesama di Tengah Bencana
6
MK Larang Wamen Rangkap Jabatan di BUMN, Perusahaan Swasta, dan Organisasi yang Dibiayai Negara
Terkini
Lihat Semua