Warta

Masdar: Substansi Zakat adalah Konsep Penganggaran Negara

NU Online  ·  Rabu, 4 Maret 2009 | 11:19 WIB

Jakarta, NU Online
Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang dibayarkan oleh muzakki atau pembayar zakat kepada penerima zakat atau mustahiq. Dalam pemahaman umum masyarakat, fungsi zakat berbeda dengan pajak, yang dikenakan membiayai penyelenggaraan negara.

Pendapat berbeda disampaikan oleh Ketua PBNU Masdar F Mas’udi yang menyatakan bahwa secara substansi zakat adalah konsep penganggaran negara.<>

“Pajak kan bahasa nasional, bahasa spiritualnya ya zakat. Memberikan uang tanpa imbalan yang mubasyir, yang langsung. Pajak kan begitu. Kita sebagai umat Isam kan tanpa konsep, apa ini perampasan, pemaksaan atau sedekah. Karena tak ada konsep, pajak menjadi tidak jelas peruntukannya. Suka-suka pengambil kebijakan sendiri. Islam memberi arah, ya untuk asnaf 8 ini,” katanya kepada NU Online baru-baru ini.

Dijelaskannya, konsep zakat dan sedekah adalah konsep fundraising yang mana semua agama memilikinya untuk mendanai gagasan dan idealisme dari masing-masing agama. Islam ini idealismenya bukan terbatas di rumah sendiri, tapi sudah untuk kemaslahatan publik. Maka konsep zakat sebenarnya adalah konsep penganggaran negara.

Belanja pemerintah dari uang pajak tersebut harus mengaku kepada asnaf 8 yang bisa dikelompokkan dalam tiga kategori, pertama, rakyat lemah dan mustadafien, kedua, biaya rutin, amilin, gaji pegawai, tapi harus dengan kesadaran pelayanan. Ketiga public good, seperti membangun jembatan, jalan. fisik, pertahanan, penegakan hukum dan lainnya.

Penekanan agama pada aspek pembelanjaan daripada aspek penarikan dana ini dikarenakan hasil yang dicapai sangat tergantung pada alokasi belanja tersebut. “Rakyat mau disengsarakan ya di spending, mau di berdayakan ya di spendingnya, dan korupsi terbesar ya di spendingnya,” tegasnya.

Pandangan agama tentang zakat yang ada selama ini, menurut Direktur Perhimpunan Pesantren dan Masyarakat (P3M) ini terlalu literal dalam memahami dalil-dalil agama tentang zakat. Ada konsep keadilan publik yang dilanggar karena umat Islam berfikir sektarian bahwa anggaran hanya untuk umat Islam.

“Dalam asnaf 8 tidak ada dan Nabi pada zaman itu banyak memberikan santunan, meskipun bukan untuk umat Islam saja. Misalnya membangun jalan, apakah tidak boleh umat non musim lewat jalan, itu tidak masuk akal. Zakat adalah fundrising dalam gagasan Islam sebagai rahmatan lil alamiin. Jadi itu dana publik yang sasarannya rakyat yang lemah dulu.

Dijelaskannya, pada masa lalu, zakat hanya 2.5 persen karena kebutuhan anggaran hanya sedikit. Tetapi untuk kondisi saat ini, tidak mungkin jika hanya sejumlah itu sehingga besarannya bisa disesuaikan dengan kebutuhan negera. “Jadi ada anggapan kalau tidak 2.5 persen tidak zakat namanya. Kita dipenjarakan oleh angka,” tandasnya.

Acuan moral dan nilai-nilai spiritual inilah yang harus ditanamkan dalam mau membayar pajak karena konsep yang ada saat ini sangat profan dan sekuler, padahal konsep ini sendiri yang ditentang oleh orang-orang yang anti sekuler. Konsep pemisahan zakat dan pajak saat ini sebenarnya tak jauh beda dengan konsep zakat untuk tuhan dan pajak untuk kaisar.

“Tuhan kebagian 2.5 persen, kaisar kebagian 15 persen. Sudah 2.5 persen kecil, ngga bisa narik lagi, minta bantuan kaisar. Ini menghina Islam,” imbuhnya. (mkf)