Warta

Masdar Farid : Jihad Itu Memerangi Ketidakadilan

NU Online  ·  Sabtu, 28 Juni 2003 | 16:56 WIB

Jakarta, NU.Online
Makna jihad harus ditempatkan dalam konteks yang tepat agar tidak terjadi distorsi pemaknaan yang keliru, dan konteks yang tepat itu adalah berjihad untuk memerangi ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan diktatorisme. Demikian diungkapkan Masdar faried Mas'udi, Wakil Rais Syuriah PBNU dalam seminar sehari Politik Islam Di Indonesia Dalam Konstalasi Keamanan Internasional yang diselenggarakan oleh Asean Youth Student- Network (AYS-Net) di Jakarta Media Center (JMC) sabtu,  (28/06/2003) 

"Pemaknaan ini penting, karena sebelum jihad dilaksanakan harus jelas dulu alasan melakukan jihad. siapa yang harus diperangi, siapa yang kafir dan apakah kita mampu mendefinisikan orang lain itu kafir yang harus diperangi ?" ungkapnya.

<>

Menurutnya, Jihad Itu adalah suatu perjuangan untuk melakukan kebaikan dan menghapus ketidakadilan, penindasan dan kejahatan dalam masyarakat. Perjuangan ini haruslah secara keagamaan, maupun secara sosial, ekonomi dan politik. Jihad adalah keinginan untuk bekerja keras melakukan kebaikan.

Dalam Qur'an, lanjutnya kata ini digunakan sebanyak 33 kali dalam berbagai bentuk. Kata ini sering terdapat bersama-sama dengan konsep Qur'an yang lain seperti iman, pertobatan, kebajikan dan migrasi. Jihad adalah perlindungan terhadap hak asasi dan iman seseorang. Jihad tidak selamanya adalah perang sekalipun hal itu bisa berupa perang. Islam adalah agama damai, tapi itu tidak berarti Islam membiarkan penindasan. Islam mengajarkan bahwa setiap orang harus melenyapkan ketegangan dan perselisihan. Islam tidak menganjurkan cara kekerasan guna mencapai perubahan dan persatuan.

Disinggung masalah pencitraan dan kecurigaan Barat dengan Indonesia dalam kaitan jaringan terorisme  Akibat Bom Bali dan ledakan yang terjadi akhir-kahir ini dan kerapkali pelakunya diidentifikasi sebagai aktivis militan Islam serta adanya pemahaman yang salah dimana saat ini telah terjadi suatu perang antara Islam dan Barat dalam hal ini Kristen dan Yahudi, sehingga  kemudian suatu golongan menghalalkan tindakan kekerasan sebagai implementasi jihad fi sabilillah.

ia menjelaskan, "kalau satu pihak sudah mencurigai, maka pihak lain juga melakukan hal yang sama dan ini sangat meresahkan kehidupan global dalam hubungan antara Barat dan Islam  yang sudah lama dibangun dan serbuan Amerika ke Iraq waktu lalu itu memang suatu hal yang luar biasa dampaknya secara psikologis politik," katanya.

Menurutnya, "Kedepan tidak ada pilihan lain bagi kita semuanya terutama  para pemimpin Islam dan Barat untuk semakin mengintensifkan dialog antara kedua belah pihak  secara jujur dan konstruktif untuk melihat  kekurangan dan kesalahan dari masing-masing yang lain, kalau tidak dengan kejujuran dialog itu hanya tipu menipu saja,"  tandasnya.

Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar  tidaklah  terlalu dibebani oleh stigmatisasai hubungan yang buruk antar Timur dan Barat dan dan justru kita harus dapat memainkan peran strategis untuk menjadi fasilitator bagi suatu dialog yang lebih tertib antara Islam dengan Barat. "Peluang ini adalah tergantung kepercayaan diri dari pemimpinnya mampu tidak menjalankan peluang ini," tuturnya.

Dialog memang perlu diintensifkan antara kedua belah pihak agar bisa meredam kecuriagaan Barat  yang berlebihan terhadap Islam selama ini. "kalau tidak dialog kan konfrontasi , saya kira memang dialog pilihan satu-satunya  yang bisa memperdalam pengertian satu sama lain,"  ungkapnya. (CiH)