Banyak terjadi penyimpangan bahkan kekerasan yang mengatasnamakan agama, dari satu teror ke teror lain, dari satu intimidasi ke intimidasi yang lain bahkan dari satu bom ke bom yang lain.
Sikap mereka menjadi sangat tidak toleran, tidak hanya terhadap penganut agama lain tetapi dengan sesama muslim pun demikian. Implikasi dari realitas prilaku keagamaan yang tidak menghargai keberagaman itu telah menistakan karakter bangsa Indonesia yang menghargai nilai-nilai keragaman baik dalam berbangsa maupun bernegara.<>
Pernyataan itu disampaikan Maria Ulfa Anshor, Mantan Ketua Umum Fatayat NU, saat menjadi pembicara dalam acara Memorial Lecture, Yap Thiam Hiem, pejuang negara hukum dan demokrasi, HAM dan kemanusiaan, di Indonesia, yang diselenggarakan Center for Development and Culture (CDC), Lembaga Pelayanan Hukum Yaphi, Mennonite Diakonia Service (MDS), dan Indonesia Tionghoa Surakarta (INTI), Solo, Rabu (27/4).
”Sikap saling menyalahkan dan mengkafirkan terhadap sesama penganut suatu agama di luar kelompoknya, sepertinya menjadi hal biasa,” kata Katua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Ia merasa khawatir, jika negara tidak segera melakukan konsolidasi secara sistemik untuk mencegah terjadinya kekerasan yang mengatasnamakan agama, artinya negara telah kehilangan ruh (spirit), sama dengan membiarkan penghancuran secara perlahan terhadap Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia, yang dipastikan berimplikasi pada hancurnya Negara Kesatuan Repulik Indonesia (NKRI).
Dalam menyikapi problem radikalisasi agama maupun prilaku anarkhis yang mengatasnamakan agama maupun formalisasi agama, kata Maria hendaknya dicarikan solusi yang sistemik dan komprehenshif agar dapat menyelesaikan masalah hingga menyentuh pada akar persoalan, dari hulu hingga ke hilir.
Beberapa rekomendasi yang mungkin dapat menjadi alternatif antara lain:
Pertama, mengaktualkan kembali nilai-nilai pluralitas, kesetaraan dan keadilan dalam berbangsa dan bernegara sebagai sebuah sistem hukum, baik dalam isi hukum (content of law), tata laksana hukum (structure of law) dan budaya hukum (culture of law).
Kedua, kepada para pengambil kebijakan perlu segera melakukan tindakan tegas terhadap pelaku anarkis atau kekerasan yang mengatasnamakan agama, siapapun pelakunya.
“Sudah terlalu banyak korban akibat kepongahan dan kelalaian para penguasa yang mengabaikan jaminan keselamatan dan keamanan dalam menjalankan agama yang diyakininya sebagaimana dijamin oleh konstitusi,” tegasnya.
Ketiga, membumikan kembali nilai-nilai agama yang pluralis, toleran dan ramah dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan bangsa. (ccp)
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Perempuan Hamil di Luar Nikah menurut Empat Mazhab
3
Pandu Ma’arif NU Agendakan Kemah Internasional di Malang, Usung Tema Kemanusiaan dan Perdamaian
4
360 Kurban, 360 Berhala: Riwayat Gelap di Balik Idul Adha
5
Saat Katib Aam PBNU Pimpin Khotbah Wukuf di Arafah
6
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
Terkini
Lihat Semua