Warta

Mahfud MD Curhat di PBNU Soal “Keadilan Prosedural"

NU Online  ·  Rabu, 30 Desember 2009 | 03:15 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyampaikan curahan hatinya (curhat) di aula kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jakarta, Selasa (29/12) tadi malam dalam acara refleksi akhir tahun 2009. Refleksi bertajuk “Politik Kebangsaan untuk Membangun Indonesia yang Bermartabat” ini merupakan kegiatan yang diadakan menjelang pelaksanaan Muktamar ke-32 NU.

Mahfud mengatakan, dalam catatan sejarah NU telah berjasa besar dalam merekatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menggelorakan nasionalisme. Namun tantangan terbesar bagi keutuhan NKRI dan merusak nasionalisme Indonesia saat ini berbeda dengan masa perang kemerdekaan tempo dulu, saat NU terlibat di dalamnya.<>

“Tantangan bagi NKRI bukan lagi musuh seperti Belanda, di mana NU ikut berperang. Juga bukan lagi perpecahan ideologi atau mempersoalkan Pancasila, tapi sekarang tantangan yang menghancurkan negeri ini adalah ketidakadilan,” kata warga NU asal pulau Madura ini.

“Saya mengutip pendapat Ibnu Taimiyah, bahwa sebuah negara akan hancur kalau tidak adil pemerintahnya meskipun itu negara Islam. Tapi negara akan abadi jika pemerintahannya adil meskipun itu negara kafir,” katanya disertai kutipan bahasa Arab yang dilafadkannya secara fasih.

Menurut Mahfud, penegakan hukum di Indonesia saat ini lebih berorientasi pada hukum prosedural, dimana pasal-pasal dan undang-undang yang ada menjadi satu-satunya pedoman utama, padahal pasal dan undang-undang ini selalu menjadi alat rekayasa.

“Untuk menghukum orang pakai undang-undang, untuk membebaskan orang juga pakai undang-undang. Tidak ada keadilan di situ. Penguasa yang memegang hukum harus dianggap benar,” katanya.

Jika hukum berpatokan pada keadilan prosedural maka pihak-pihak yang berkepentingan bisa berkerjasama dengan hakim dalam memilih undang-undang yang menguntungkan mereka. Mahfud menunjuk Ketua Angket Century Idrus Marham dan Mantan Ketua badan Kehormatan DPR Slamet Efendy Yusuf yang hadir dalam acara refleksi itu sebagai perumpamaan.

“Kalau saya hakim, misalnya Pak Slamet dan pak Idrus Marham berperkara. Saya katakan, kalau ingin Pak Slamet yang menang ini undang-undangnya, kalau Pak Idrus yang ingin menang ini undang-undangnya. Pasalnya sama-sama ada tinggal sekarang Siapa yang berani bayar lebih mahal. Inilah kalau kalau keadilan itu ditekankan dalam arti prosedural,” katanya.

Mahfud berharap, persoalan keadilan prosedural ini menjadi bahan pembahasan penting dalam Muktamar NU ke-32 di Makassar mendatang. Ia berharap penegakan keadilan substansial atau keadilan yang berbasis pada hati nurani menjadi agenda yang ditopang oleh organisasi sebesar NU. “Persoalan keadilan substansial ini penting disuarakan oleh NU,” katanya.

Mahfud menambahkan, persoalan hukum lainnya adalah hukum administrasi negara yang tidak diberdayakan secara benar. Para pejabat yang terbukti bersalah tetap dibiarkan menjabat, dengan alasan proses hukum pidana belum selesai.

“Saya pernah katakan kepada presiden SBY Kesalahan negara kita itu menganggap bahwa hukum kita itu hukum pidana. Misalnya ada pejabat sudah jelas menyalahgunakan jabatan lalu tidak diberhentikan dengan alasan sedang dalam proses pengadilan, padahal pengadilannya dibeli agar prosesnya lama atau tidak mengadili sama sekali,” katanya di hadapan para kiai, pengurus dan warga NU yang lesehan memenuhi aula PBNU. (nam)