Warta

Kutu Loncat Bukti Kegagalan Pendidikan Politik Partai

NU Online  ·  Rabu, 20 Mei 2009 | 08:21 WIB

Jakarta, NU Online
Partai politik peserta Pemilu 2009 sudah menentukan langkah koalisinya masing-masing. Partai Demokrat (PD) yang menjadi pemenang pemilu legislatif menjadi lokomotif gerbong koalisi terbesar dengan merangkai kekuatan 23 parpol.

Namun demikian, tak sedikit fungsionaris partai yang ‘membelot’ alias tidak patuh terhadap keputusan koalisi partai mereka sendiri.<>

Menurut Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Eko Prasodjo, banyaknya ‘kutu loncat’ politik semacam ini merupakan gambaran dari kegagalan pendidikan politik parpol di Indonesia.

“Bahkan bukan cuma gagal, parpol bisa disebut tidak mampu melakukan pendidikan politik,” ujar Eko (19/5).

Dia menjelaskan, parpol sejatinya merupakan kawah candradimuka bagi kader yang ingin berkiprah di dunia politik. Karenanya, proses internalisasi ideologi politik merupakan keharusan dalam tahapan pendidikan politik. “Kalau partai berhasil melewati tahap ini, tidak mungkin ada kutu loncat itu.”

Tidak adanya nilai-nilai dasar yang ditanamkan partai kepada para kadernya, lanjut Eko, mengakibatkan para kader bisa menentukan pilihan-pilihan pribadinya kapan saja. “Sehingga mudah sekali loncat ke sana loncat ke sini.”

Fenomena kegagalan melakukan pendidikan politik, kata Eko, tidak hanya terjadi pada partai-partai baru. Bahkan parpol sekaliber Partai Golkar dan PDIP pun menunjukkan gejala yang sama.

Tidak heran jika dua partai besar di masa Orde Baru tersebut juga mengalami perpecahan dalam sikap politiknya.

Dikatakan, ketidaksamaan ideologi politik kader partai membuat masing-masing politisi terlihat asyik dengan dunianya sendiri-sendiri. Tak jarang ditemukan ada dua sikap berbeda dari kader yang berasal dari satu parpol. “Padahal hal yang dihadapinya sama.”

Eko mencontohkan isu neoliberalisme dalam pendekatan ekonomi makro. Seharusnya, isu prinsip seperti itu ditanggapi dengan satu sikap yang sama dengan basis ideologi partai. “Tapi nyatanya masing-masing anggota partai yang sama punya pandangan berbeda, lalu dimana letak ideologi partainya?” gugat Eko.

Akibat lebih jauh dari kegagalan pendidikan politik partai adalah proses rekrutmen dan seleksi kader yang sembarang. Imbas dari proses rekrutmen dan seleksi kader yang serampangan adalah wajah parlemen yang tidak menunjukkan keunggulan kualitas.

“Jadi jangan berharap wajah parlemen akan lebih baik bila pendidikan politiknya lumpuh. Parahnya ini tidak hanya terjadi di level DPR pusat, tapi juga keseluruhan nasional,” tandas Eko. (rep/mad)