Kritisi Kolonialisasi Keberagamaan dan Kebangsaan
NU Online · Kamis, 24 Maret 2011 | 07:03 WIB
Tidak dipungkiri bahwa kolonialisasi keberagamaan terjadi karena keragaman agresifitas terkait dengan deviasi perspektif dalam memandang persoalan pluralitas, apresiasi terhadap minoritas, hubungan antar umat beragama, dan antar umat Islam. Perbedaan pola pandang terjadi dalam urusan domestik sampai tingkat global.
Keragaman sikap secara ekstrem mencuat dalam mencermati urusan Islam transnasional, keberadaan Ahmadyah, krisis Palestina-Israel, ketegangan Iran dan Irak versus Amerika Serikat dan sekutunya, dan mutakhir tentang krisis Timur Tengah dengan segala intervensi asing yang terjadi.<>
“Pada tingkat domestik, mutu relasi multikultural utamanya antar Orsos Islam sangat beragam dipertontonkan dalam memandang minoritas dan menempatkan urusan hifz al-diin wa al-nafs wa al-‘aql, secara warna-warni,” demikian antara lain yang akan dibahas dalam Rapat Pleno PBNU di Pesantren Krapyak, Yogyakarta, 27-28 Maret mendatang.
Lebih dari sekedar keragaman, NU sebagai organisasi sosial Islam terbesar dengan karakter menengah, tegak lurus berkeadilan, dan tolerannya, sudah barang tentu harus menempatkan diri untuk hadir secara substantif dan efektif ketika kasus kekerasan kolektif marak terjadi di Cikeusik, Temanggung, dsb, dan mutakhir maraknya paket bom.
Karena itu, kehadiran peranserta NU dalam urusan multikultural dan collective violence memang mutlak sifatnya dan karenanya ketegasan fatwa KKA dalam hal ini tidak bisa ditawar.
Kebangsaan
Banyak sekali urusan kebangsaan yang menuntut NU untuk hadir lebih berpengaruh (Konstektualisasi Kebangsaan Aswaja (KKA)-nya. Maraknya politik transaksional, demokrasi plintiran, abadinya kapitalisme kroni, desentralisasi korupsi dan erzats capitalism dalam otonomi, kemerosotan budaya ekonomi-politik, pendidikan materialistik, ketimpangan ekonomi, dan banyak lagi dekadensi, sudah pasti merupakan pola kehidupan menyimpang menurut standard KKA.
Sudah barang tentu, keragaman persoalan dalam bernegara ini memerlukan tafakkur mendalam PBNU untuk mampu menjadi katalisator munculnya sejumlah fatwa KKA dalam urusan pembangunan Negara.
Oleh sebab itu mendesak sekali perlunya wadhah kelembagaan strategis (lajnah tsaqafah) untuk menterjemahkan isu-isu mendesak yang tidak terduga kemunculannya menurut versi KKA. Hal itu dinantikan untuk bisa membekali fungsionaris NU dengan keseragaman sikap Jam’iyah secara menyeluruh.
Bahwa NU secara substantif dituntut eksistensinya ketika senyatanya segala dekadensi kebangsaan terbukti berimplikasi negatif bagi kehidupan keberagamaan Nahdliyin. Maraknya moralitas ‘mandho’, spiritualitas permissif, makin haramnya ekonomi basis, pragmatisme amplop, dan segala dekadensi moralitas ekonomi, utamanya yang merusak kesejahteraan rakyat, tentu menyedihkan bagi para Kyai dengan perspektif KKA.(amf)
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
3
Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU Akan Lantik JATMAN masa khidmah 2025-2030
4
Khutbah Jumat: Meningkatkan Kualitas Ibadah Harian di Tengah Kesibukan
5
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
6
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
Terkini
Lihat Semua