Jakarta, NU Online
Nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) dengan metode konversi, mencerminkan kerumitan yang terjadi dalam Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Di satu sisi, Depdiknas ingin meningkatkan mutu, tetapi di sisi lain khawatir bila mutu tersebut tidak dapat dicapai.
Seharusnya, apabila Depdiknas akan meningkatkan mutu pendidikan, tidak perlu ada konversi, cukup membuat sistem yang jelas dan tegas dalam pelaksanaan maupun pengukuran hasil ujian. "Jangan terjebak dengan persentase kelulusan atau takut bila banyak siswa yang nantinya tidak lulus," demikian Pengamat Pendidikan dan Sejarahwan Dr Anhar Gonggong, di Jakarta, Rabu (16/6) pagi.
<>Menurut Anhar, kesalahan yang terjadi selama ini adalah tidak pernah ada pemahaman bahwa siswa yang mengikuti ujian itu dapat tidak lulus. "Seharusnya hal itu harus disosialisasikan di sekolah. Kesalahan kita selama ini hanya menghitung persentase. Dengan kata lain, sekolah jelek adalah sekolah yang siswanya banyak tidak lulus," katanya.
Anhar juga melihat faktor masyarakat menjadi pemicu munculnya ketakutan akan banyaknya siswa yang tidak lulus. Masyarakat, dalam hal ini orang tua, seringkali memaksakan pendidikan yang dianggap bagus bagi anaknya. Mereka tidak melihat kemampuan anak itu sendiri. "Mereka juga berpandangan bahwa anaknya bodoh bila tidak naik kelas atau tidak lulus. Padahal yang namanya ujian, bisa lulus dan tidak," tegasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia, Prof Dr Mohammad Surya, menilai terjadinya disinformasi antara sekolah sebagai pelaksana kebijakan penilaian dengan sistem konversi dalam pelaksanaan UAN, menunjukkan bahwa sosialisasi tidak sampai ke sekolah dan tidak dipahami mekanismenya oleh guru.
Karena itu, sebaiknya pemerintah menjelaskan secara resmi kepada masyarakat bagaimana persoalan penilaian dengan sistem konversi, bagaimana metodologi dan mekanismenya.
"Sebagai tulang punggung di lapangan, para guru mengeluh karena tidak mendapat informasi secara jelas tentang penilaian dengan sistem konversi. Yang jelas guru merasa sakit hati karena mereka sudah mengajar secara sungguh-sungguh dan menggenjot siswa untuk belajar dengan keras, ternyata ada pola konversi. Jelas ini merugikan guru dan siswa," ujar Mohammad Surya.
Menurut dia, dimasa depan sebetulnya pola pengukuran standar penilaian masih dibutuhkan dalam sebuah sistem besar pendidikan nasional. Hanya saja, sebaiknya pola itu tidak dilakukan oleh pemerintah pusat seperti pelaksaan Ebtanas atau UAN, melainkan diselenggarakan oleh sebuah badan yang lebih independen.
Sementara itu Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Husna Zahir, Rabu pagi, menyesalkan tindakan Depdiknas yang tidak menjelaskan secara transparan mekanisme penilaian UAN. "Seharusnya semua stake holder yang terlibat dalam pelaksanaan UAN mengetahui secara jelas mekanisme tersebut," katanya.
Selain itu, bila memang benar nilai tersebut dikonversi akibat adanya perbedaan soal di setiap daerah, menunjukkan tujuan UAN tidak tercapai. Sejak awal UAN sudah memunculkan kontroversi dimana untuk menentukan standar diperlukan pendukung yang juga sudah standar. "Kalau soal sudah berbeda, berarti tidak ada standar nasional. Nilai yang sekarang ada pun tidak menunjukkan standar pendidikan di daerah tersebut karena sudah dilakukan konversi," ujarnya. [Sp/Cih]
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Tujuh Amalan yang Terus Mengalir Pahalanya
2
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
3
Khutbah Jumat: Menyambut Idul Adha dengan Iman dan Syukur
4
Khutbah Jumat: Jangan Bawa Tujuan Duniawi ke Tanah Suci
5
Khutbah Jumat: Merajut Kebersamaan dengan Semangat Gotong Royong
6
Buka Workshop Jurnalistik Filantropi, Savic Ali Ajak Jurnalis Muda Teladani KH Mahfudz Siddiq
Terkini
Lihat Semua