Warta UU PENODAAN AGAMA

Khofifah: UU Penodaan Agama Dicabut, Konflik Tak Terhindarkan

NU Online  ·  Jumat, 19 Maret 2010 | 04:49 WIB

Jakarta, NU Online
Saksi ahli pemerintah, Khofifah Indar Parawangsa, menyatakan pencabutan UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama (PPA) bisa menyebabkan konflik horizantal antarumat beragama kian tak terhindarkan. Hal itu karena kelompok mayoritas bisa menafsirkan pencabutan itu sebagai tindak penistaan atas keyakinan yang diyakini.

''Maka korban potensialnya adalah kelompok minoritas dan di dalamnya perempuan dan anak-anak,'' katanya dalam sidang uji materi di Gedung MK, Jakarta, Jum'at, (19/3). Menurut Khofifah, UU PPA hingga kini sebetulnya terbukti bisa mewujudkan harmoni antarumat beragama. Harmoni terwujud karena UU bisa mencegah terjadinya konflik yang dipicu dugaan tindak penodaan agama oleh pihak tertentu.<>

Khofifah juga membantah anggapan sebagian pihak bahwa UU PPA diskriminatif. Hal itu karena meski hanya mencantumkan enam agama dalam pasal 2, UU tersebut sebetulnya juga mengakui berbagai agama dan keyakinan yang tidak disebutkan. Hal itu bisa dipahami melalui penjelasan pasal.

''Tidak berarti agama lain misalnya Yahudi, Zoroaster, dan Taoisme dilarang di Indonesia. Mereka tetap dijamin oleh UU sebagaimana pasal 29 UUD sepanjang tidak melanggar aturan,'' ujarnya.

Meski demikian, Khofifah mengakui UU PPA telah berusia cukup lama, 45 tahun, dan belum pernah diamandemen. Sedangkan, situasi dan dinamika masyarakat di Tanah Air terus mengalami perubahan. Karena itu, ia meminta agar MK mengusulkan pada pemerintah dan DPR untuk melakukan revisi UU PPA agar bisa disesuaikan dengan kondisi terkini.

Amandemen hendaknya juga melibatkan pendapat berbagai masyarakat. ''Prinsipnya, kalau dalam usul fiqh, yang baik dipertahankan, yang belum baik diperbaiki,'' imbuhnya. (ful)