Warta Munas dan Konbes NU

Kekayaan Lebih Pejabat Menjadi Indikasi Korupsi

Ahad, 30 Juli 2006 | 07:13 WIB

Surabaya, NU Online
Kekayaan yang dimiliki oleh pejabat pemerintahan melebihi gaji yang diperolehnya dapat dijadikan sebagai indikasi (qarinah) adanya tindak pidana kurupsi.

Demikian dalam Sidang Komisi Bahstul Masail Diniyyah Waqi’iyyah Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Ahad (30/7). Sidang tersebut berkaitan dengan pembahasan absah tidaknya asas pembuktian terbalik dalam pemutusan perkara.

<>

Para peserta sidang (musyawirin) merasa terusik dengan praktik pemberantasan korupsi di Indonesia yang selalu gagal gara-gara tidak cuup bukti yang kuat untuk memaksa para terduga ke meja hijau.

Sidang yang dipimpin oleh Rais Syuriah PBNU KH. Masyhuri Naim itu memutuskan bahwa penyusutan pendapatan negara, pembengkakan belanja dan kekayaan pejabat yang melebihi batas kewajaran belum tepat dikatakan sebagai bukti (bayyinah) adanya tindakan korupsi, namun disebut sebagai qarinah atau indikasi praktik korupsi.

Indikasi ini kemudian dapat dijadikan alat untuk melakukan penyidikan selanjutnya, sebelum ditarik ke meja hijau.

Beberapa kiai dalam Munas memberikan contoh (ibrah) yang terjadi pada awal-awal pembentukan hukum Islam, yakni pada masa Khalifah Umar bin Khattab bahwa waktu itu seorang pejabat pemerintahan yang kaya secara tidak wajar diminta paksa untuk membuktikan dari mana asal kekayaannya, atau membuktikan bahwa yang bersangkutan tidak melakuka tidakan korupsi.

Ada pendapat yang lebih tegas lagi, dalam sidang itu, bahwa qarinah atau indikasi itu sendiri sudah berarti bukti.

“Menurut saya, bukti atau bayyinah itu tidak hanya berkaitan dengan saksi dan barang bukti tapi juga qarinah atau indikasi itu,” kata KH. Malik Madani salah seorang peserta siding yang juga Katib Syuriah PBNU. (nam)