Warta

Kekalahan Caleg Perempuan Akibat Lemahnya Modal Sosial dan Dana

NU Online  ·  Ahad, 3 Mei 2009 | 04:11 WIB

Kudus, NU online
Minimnya perolehan suara calon anggota legislatif (caleg) perempuan pada Pemilu 2009 kemarin disebabkan kurangnya modal sosial dan dana. Terbukti, jejaring yang dimiliki melalui basis organisasi massa perempuan belum sepenuhnya bisa memilih caleg sesama kaumnya. Selain itu ada ketidaksiapan politisi perempuan bersaing dengan caleg-caleg lain.

Demikian perbincangan Kontributor NU Online Qomarul Adib dengan Ketua Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Kudus Malaiha Dewi S Sos, M Si dan Sekretaris Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) kabupaten Kudus di Kudus Jum'at (1/5) kemarin menanggapi hasil Pemilu 2009 yang kurang menguntungkan caleg perempuan.<>

Sebagaimana diketahui, di Kabupaten Kudus sendiri ada 70 caleg perempuan yang mengikuti pemilu kemarin. Namun, dari rekapitulasi hasil pemilu oleh KPU, hanya ada lima caleg kaum hawa yang bisa duduk menjadi anggota DPRD kabupaten Kudus mendatang. Mereka  adalah Dra Maesyaroh, Novita Arini (PPP), Trie Erna (Golkar), Efa Yunita (PKPB) dan Helma Susanti (Gerindra). Berbeda dengan kaum laki-laki yang menempatkan 40 anggota dewan  dari 45 jatah kursi DPRD Kabupaten Kudus.

Lebih jauh Malaiha Dewi yang juga Dosen STAIN Kudus ini menilai kekalahan tersebut  akibat caleg perempuan kurang optimal memanfaatkan jejaring  organisasi atau massa untuk sosialisasi pencalonannya. Selain minimnya dana yang dimiliki, perempuan masih mengalami kendala waktu dan tenaga.

“Persoalannya , sekarang ini perempuan masih terbentur dengan double burden (peran ganda) sebagai publik figur maupun  domestik. Sehingga waktu melakukan sosialisasi pada konstituen kurang optimal dan akhirnya tidak memperoleh dukungan,” tandas Malaiha.

Pada mulanya, tambah wakil ketua PC Fatayat NU Kudus ini, asumsi adanya perempuan di parlemen akan meningkatkan kualitas hidupnya. Namun berdasar penelitian lembaganya, selama 5 tahun kemarin kinerja dewan perempuan  belum mampu tingkatkan kebutuhan dan kepentingan perempuan.

“Meski minim di parlemen,  kita tidak perlu khawatir.  kita masih punya jalan dalam memperjuangkan hak-hak politik. Kita bukan mementingkan jenis kelaiminnya, toh  sekarang sudah banyak anggota dewan laki-laki  yang sensitif dan mainstrem  perempuan, “ kata Malaiha Dewi.

Sementara Faizah mengatakan sejak munculnya keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah sistem pemilu dengan suara terbanyak, sudah menjadi tantangan yang paling  berat dalam peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen. Kebanyakan para caleg perempuan tidak siap berpolitik maupun bersaing dengan caleg-caleg lain terutama dengan non perempuan.
 
“Kita menyadari, politisi perempuan memang sedikit yang siap bersaing. Hal ini karena kurang matang pemahaman berpolitiknya. Belum lagi kaderisasi partai yang saat ini  masih bias gender, indikasinya perempuan–perempuan yang duduk di posisi strategis partai terbatas. Akibatnya, dalam setiap pergulatan politik termasuk dalam pemilu kemarin, perempuan  selalu kalah dalam pertarungan,” kata Faizah. (adb/nam)