Warta

Kasus Ambalat, Jangan Takut Berunding

NU Online  ·  Jumat, 18 Maret 2005 | 03:18 WIB

Jakarta, NU Online
Tokoh NU yang juga mantan Duta Besar Syiria, Chalid Mawardi mengatakan Indonesia jangan takut berunding dalam kasus sengketa blok Ambalat dengan Malaysia, karena secara historis, de facto dan de jure Indonesia memiliki bukti yang cukup kuat terkait kedaulatan wilayah. "Karena kasus blok Ambalat berbeda dengan kasus Sipadan dan Ligitan," ujarnya dalam diskusi Bulanan NU Online dengan tema, "Respon Terhadap Gerakan "Ganyang Malaysia", di Gedung PBNU, Jln. Kramat Raya 164 kemarin.

Menurutnya, pada kasus Ambalat, Indonesia berada di atas angin karena sudah mengeksploitasi daerah tersebut sejak tahun 80-an. Ini tentunya menunjukkan keseriusan Indonesia untuk mengelola daerah tersebut. Selain itu, Indonesia memiliki keuntungan karena merupakan negara kepulauan yang memiliki hak-hak yang tidak dimiliki oleh negara pantai seperti Malaysia. Klaim Malaysia sendiri baru diketahui dunia akhir-akhir ini dari perjanjian Malaysia untuk menyerahkan penggalian sumber daya minyak di sektor Ambalat kepada perusahaan minyak Shell. "Malaysia adalah negara pantai biasa, yang hanya boleh memakai garis pangkal biasa (normal baselines) atau garis pangkal lurus (straight baselines) jika syarat-syarat tertentu dipenuhi. Karena itu, Malaysia seharusnya tidak menyentuh daerah itu karena ia hanya bisa menarik baselines Negara Bagian Sabah dari daratan utamanya, bukan dari Pulau Sipadan atau Ligitan," ujar mantan ketua umum GP Ansor ini.

<>

Sedangkan dalam kasus Sipadan dan Ligitan yang mencuat sejak 1963 ketika Malaysia bereaksi terhadap perjanjian kerjasama antara Indonesia dengan Japex (Japan Exploration Company Limited) tahun 66. Malaysia juga melakukan kerjasama dengan Sabah Teiseki Oil Company tahun 1968, sebagai tanggapan terhapa kegiatan eksplorasi laut di wilayah Sipadan. Tahun 1969, Malaysia mulai melakukan klaim bahwa Sipadan Ligitan merupakan wilayah Malaysia, yang hal ini langsung di tolak oleh pemerintah Indonesia. Sampai kemudian pada tahun 1997, Indonesia dan Malaysia bersepakat untuk menyerahkan masalah tersebut ke International Court of Justice (ICJ), the Hague di Belanda. Hingga, akhirnya ICJ menyatakan bahwa pulau sipadan dan ligitan adalah berstatus uti possidetis, artinya status quo, tidak dimiliki siapapun kecuali oleh kelompok yang menggunakan pulau tersebut secara "efektif" dan secara de facto menggunakan pulau tersebut dan bukan berdasarkan de jure.

Pada waktu itu, lanjut mantan ketua Komisi I DPR-RI pihak Malaysia terus membangun fasilitas-fasilitas di Pulau Sipadan tanpa mempedulikan mahkamah Internasional yang menginstruksikan kedua belah pihak untuk tidak 'menyentuh' Sipadan dan Ligitan sampai ada keputusan. Indonesia mengikuti instruksi tersebut, sedangkan Malaysia tidak menggubrisnya dan bahkan menjadikan Sipadan sebagai daerah tujuan wisata. Akhirnya Sipadan dan Ligitan jatuh ke tangan Malaysia karena Indonesia dianggap tidak menunjukkan sikap ketertarikan kepada Sipadan dan Ligitan.

Ketika ditanyakan apakah jalan perundingan di meja internasional yang dipilih malah berakibat seperti Sipadan dan Ligitan kembali, mengingat klaim Malaysia bahwa pulau Ambalat, lebih dekat ke Sipadan dan Ligitan yang sudah menjadi milik Malaysia (berdasar perjanjian kelautan dimana jarak pulau tersebut sekurang-kurangnya 100 nautical mil dari base line/continental shelf. Mantan ketua PBNU ini mengatakan, Ambalat secara geografis berada di bagian selatan Laut Sulawesi dan masuk wilayah Indonesia. Jika kedua negara tetap dalam posisi berlawanan, maka untuk mencegah konflik bersenjata, jalan keluar yang harus ditempuh adalah duduk dalam perundingan garis batas landas kontinen kedua negara, yang sekaligus berarti menyelesaikan kasus Ambalat dengan menerapkan prinsip equitable solution, seperti digariskan UNCLOS 1982.

Namun, tambah Chalid selain tetap menggunakan high diplomacy, perlu juga menguatkan peran militer di wilayah tersebut supaya Malaysia juga tidak mudah "mengintervensi?" teritori Indonesia. Indonesia bisa langsung membangun fasilitas militer disana, untuk mengantisipasi barangkali Malaysia menggunakan "fait a compli" terhadap keberadaan Malaysia di Ambalat. Atau ada cara lain juga untuk melemahkan keinginan Malaysia, yaitu dengan "membujuk" negara-negara tetangga yang berbatasan dengan Malaysia, misalnya Singapore dengan pulau Batu puteh, atau Philippina dengan klaim terhadap pulau Sabahnya, supaya melakukan hal yang sama, sehingga Malaysia juga akan berfikir lebih panjang untuk melakukan negosiasi yang lebih baik dengan Indonesia, negeri jiran yang mayoritasnya juga beragama Islam. "Dalam kondisi seperti ini "show of force" kekuatan militer memang perlu untuk 'melemahkan' pihak lawan. Tapi, semuanya ini seharusnya dilakukan dengan tanpa "menyemangati" rakyat dengan agitasi perang yang sudah payah dilanda krisis," tandas Chalid. (cih).