Islam Liberal dan Kaum Fundamentalis Sama-Sama Alami Krisis Kepercayaan
NU Online · Selasa, 19 Juli 2005 | 02:23 WIB
Jakarta, NU Online
Umat Islam Indonesia saat ini tengah mengalami polarisasi yang sederhana, tapi kadang panas, antara mereka yang menyebut diri kelompok liberal dan pihak lain, yang boleh disebut fundamentalis radikal.
Yang satu mengajukan solusi total, bahwa untuk membebaskan umat Islam dari keterpurukan hanya satu jalan “Tiru dan ikuti saja yang sudah terbukti dan teruji, siapa lagi kalau bukan “Barat”. Sementara lawannya bersikeras bahwa untuk maju kita harus mencuci diri dari segala sesuatu yang berbau barat dan kembali pada orisinilitas, dengan penegakan syariah Islam sebagai solusinya.
<>“Kedua belah fihak dihinggapi semacam krisis kepercayaan kepada diri sendiri yang terefleksikan dalam cara yang berbeda. Kelompok liberal krisis kepercayaan kepada diri sendiri, terefleksikan dalam sikap penyangkalan diri dengan melebur ke dalam orang lain (al-fana fi al gair, fi al gharb); sementara yang lain krisis kepercayaan dirinya terakatualisasi dalam sikap penyangkalan terhadap eksistensi orang lain. Jika tidak secara fisik, minimal secara ideologis,” tandas Masdar F’ Mas’udi dalam peluncuran jurnal pemikiran keagamaan “Perspektif Progresif” di Hotel Nikko Jakarta Senin malam(18/7).
Salah satu ketua PBNU tersebut menejelaskan bahwa kontestasi antara kedua kelompok ini lebih banyak terjebak pada perebutan identitas simbolik, seputar wajib jilbab versus anti jilbab, celana cungklang versus celana jeans, bergamis versus T-Shit, jangkut klimis dan jenggot panjang dan sebagainya. “Mengapa kita harus bersitegang bahkan saling mengancam, sekedar untuk merumuskan bagaimana kita harus mensikapi orang lain, menjiplaknya atau memusuhinya,” tandasnya
Masdar yang merupakan Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) tersebut mengajurkan agar kita lebih fokus dalam memecahkan problem primer umat dan bangsa ini seperti kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan, korupsi dan sebagainya dengan merevitalisasi khazanah kultural, sosial dan alam Indonesia.
“Bahwa untuk itu perlu belajar dari pengalaman sukses orang lain, sudah pasti. Seperti kata rasulullah, setiap hikmah yang berguna untuk memecahkan problem kamanusiaan kita, tidak penting dari mana datangnya, apakah dari Barat atau dari Timur, apalagi dari ajaran agama sendiri, itulah yang harus kita ambil,” imbuhnya.
Dikatakannya bahwa yang dibutuhkan Barat bukanlah pembebek yang fanatik, bukan pula penentang yang keras kepala. Yang sungguh dibutuhkan oleh Barat dalam jangka panjang adalah partner strategis yang independen dan kuat, yang bangga hidup dengan sistem nilai dan tradisinya sendiri untuk bersama-sama membangun tata dunia baru yang lebih adil dan damai.(mkf)
Terpopuler
1
Innalillahi, Nyai Nafisah Ali Maksum, Pengasuh Pesantren Krapyak Meninggal Dunia
2
Sosok Nabi Daniel, Utusan Allah yang Dimakamkan di Era Umar Bin Khattab
3
Cerita Pasangan Gen Z Mantap Akhiri Lajang melalui Program Nikah Massal
4
Asap sebagai Tanda Kiamat dalam Hadits: Apakah Maksudnya Nuklir?
5
3 Pesan Penting bagi Pengamal Ratib Al-Haddad
6
Mimpi Lamaran, Menikah, dan Bercerai: Apa Artinya?
Terkini
Lihat Semua