Warta

Islam di Indonesia Masih Dipandang Positif di Australia

NU Online  Ā·  Kamis, 10 April 2008 | 02:08 WIB

Brisbane, NU Online
Pandangan intelektual Australia tentang Islam di Indonesia relatif lebih baik dibandingkan Islam di negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara dan Timur Tengah, kata Peneliti Muda Universitas Gadjah Mada (UGM), Yulianingsih Riswan.

Pandangan positif tentang Islam di Indonesia itu mengemuka dalam pertemuan empat peserta program Pertukaran Pemimpin Muda Muslim Australia-Indonesia (AIME) dengan sejumlah Indonesianis Australia, katanya dari Brisbane, Selasa malam.<>

Yulianingsih Riswan, peneliti di Pusat Studi-Studi Agama dan Lintas Budaya UGM Yogyakarta itu berada di Australia selama dua minggu sejak akhir Maret lalu bersama tiga peserta AIME lainnya.

Tiga peserta AIME lainnya adalah Aktivis sayap wanita MuhammadiyahĀ  Jakarta, Artati Haris, Dosen dan Peneliti Universitas Paramadina, Jubaedah Yusuf, serta Pekerja sosial dan Pendiri Yayasan Martabat yang membantu penanganan anak-anak jalanan, Melati Adidamayanti.

Yulianingsih mengatakan, pandangan positif tentang Islam di Indonesia itu mengemuka saat mereka bertemu dan berbincang dengan Pakar Hukum Islam Universitas Melbourne, Prof Tim Lindsey, dan Pakar Politik Islam dan Nahdlatul Ulama (NU) Universitas Monash, Greg Barton, dalam rangkaian program AIME di Melbourne.

Menurut pandangan mereka, kata Yulianingsih, dalam proses perkembangannya, Indonesia terlihat "jauh lebih baik" dari negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya karena Indonesia membuka peluang bagi berkembangnya demokrasi dan toleransi.

Menjawab pertanyataan tentang "Islamophobia" atau ketakutan terhadap Islam di negara-negara Barat, seperti Australia, peneliti muda UGM ini berpendapat bahwa Islamophobia tidak dapat dilepaskan dari peran media massa.

Media massa, katanya, masih cenderung "memberikan" kabar buruk tentang Islam karena pola pemberitaan semacam itulah yang dianggap laku dijual ke publik mereka.

Dalam konteks Australia, Yulianingsih berpendapat, kalangan terdidik Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Australia bisa berperan dalam menyampaikan pesan yang benar dan utuh tentang Islam dan Indonesia kepada media dan masyarakat di negara itu.

Hanya saja, tampaknya kendala bahasa masih memengaruhi kemampuan umumnya orang-orang Muslim Indonesia di Australia dalam menyampaikan pesan yang utuh tentang Islam, katanya.

Apa yang disampaikan Yulianingsih tentang kontribusi media pada terciptanya Islamophobia itu diamini Aktivis perempuan Muhammadiyah, Artati Haris.

Artati mengatakan, sejumlah tokoh Katolik, Kristen dan Yahudi di Australia yang sempat dijumpai juga menyadari betapa media berperanan besar dalam memengaruhi citra suatu agama, individu, maupun budaya tertentu.

"Media memegang peranan penting dalam propaganda tentang isu tertentu yang mungkin tidak sama dengan fakta yang sebenarnya."

"Dari sini kita menyadari bahwa saat mendengar satu berita sebaiknya dicek kembali. Dan peran ’resource persons’ (orang-orang yang layak menjadi sumber) menjadi sangat penting sehingga kita terhindar dari distorsi informasi," katanya.

Pemahaman dialog

Namun melalui dialog yang intens antartokoh dan penganut agama dan kepercayaan yang berbeda itu akan terbangun pemahaman yang lebih baik di antara mereka mengenai agama, kepercayaan dan perabadan yang beragam di dunia ini, katanya.

Sebagai orang yang aktif di pusat dialog dan kerja sama antarperadaban di Jakarta, ia sangat meyakini bahwa semua agama mengajarkan kedamaian dan tidak ada satu agama yang menginginkan terjadinya peperangan dan konflik.

"Kalaupun terjadi konflik, agama tidak pernah menjadi penyebab konflik itu sendiri karena penyebab konflik umumnya adalah kepentingan politik dari orang-orang yang terlibat," kata Artati.

Kembali ke masalah "Islamophobia", Peneliti UGM Yulianingsih Riswan berpendapat bahwa fenomena itu tidak hanya terjadi di negara-negara Barat, seperti Australia, tetapi juga bisa terjadi di Indonesia sendiri.

Salah satu faktor penyebabnya adalah masalah ekonomi. Di Pulau Bali misalnya, kaum pendatang Muslim membawa serta budaya dan agamanya saat berdomisili dan menekuni usaha di pulau dewata itu, katanya.

Ditanya tentang kesannya terhadap warga Australia yang menaruh perhatian terhadap studi-studi Islam Indonesia, ia mengatakan, umumnya mereka yang ingin lebih banyak mengetahui masalah keislaman di Indonesia masih bertumpu pada "mainstream Islam" (Islam arus utama).

Yang dimaksud dengan Islam arus utama itu adalah Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah padahal keduanya belum seutuhnya mewakili wajah Islam Indonesia karena ada kelompok-kelompok Islam lain di dua organisasi ini, katanya. (ant/ris)