Warta

Ironi, Praktek Korupsi Melanda Sekolah

NU Online  ·  Senin, 10 November 2003 | 09:45 WIB

Jakarta, NU.Online
Jangan di kira Praktik korupsi di Indonesia hanya terjadi di lembaga pemerintah dan swasta, namun terjadi juga di sekolah-sekolah. Korupsi di sekolah paling tidak ditemukan di empat sekolah di Cimahi dan Jakarta yang diteliti Indonesia Corruption Watch (ICW). Keempat sekolah itu adalah SMU 1 dan 5 Cimahi, SMP 70 Jakarta, serta SDN 03 Jakarta.

Menurut Wakil Koordinator ICW Luky Djani di Jakarta,  Sabtu pekan lalu, korupsi di sekolah mulai marak menyusul dikeluarkannya kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), seperti yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No 044/U/ 2002. Kebijakan itu sebetulnya mendorong semua pihak, seperti guru, orang tua murid, dan masyarakat, untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sekolah. Tetapi, kenyataannya kebijakan itu diselewengkan, di antaranya dengan memungut sejumlah uang dari orangtua murid tanpa pertanggungjawaban yang jelas.

<>

Korupsi di sekolah dibedakan menjadi dua kelompok, yakni korupsi dana pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) dan non-APBS. Korupsi APBS dilakukan dengan cara membuat anggaran ganda, anggaran yang tidak direalisasikan, serta realisasi anggaran untuk kegiatan yang tak jelas. Sedangkan korupsi dana non-APBS dilakukan pada Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM) dan Broad Based Education (BBE), serta dana mutasi siswa.

Di SMU 5 Cimahi misalnya, untuk perbaikan dan pemeliharaan sekolah, di samping mendapat dana rutin pemerintah, pihak sekolah masih meminta kepada orangtua murid. Selain itu masih ada program BOMM dan BBE. ''Empat sumber pendanaan untuk membiayai satu kegiatan jelas suatu kekeliruan dan pertanggungjawabannya pun tidak ada,'' kata Luky. Kemudian, di SMU 1 Cimahi, orang tua siswa dibebankan Rp 6.000 per tahun yang akan dipakai untuk kegiatan Kelompok Kerja Kepala Sekolah. Tetapi, kegiatannya tidak ada dan dana yang dihimpun juga tidak pernah dipertanggungjawabkan. Demikian juga dengan dana Palang Merah Remaja (PMR) yang dianggarkan Rp 4,2 juta, tetapi kegiatannya juga tidak ada.

Sedangkan untuk korupsi non-APBS ditemui di SDN 03 Mangga Dua, Jakarta. Sekolah itu mendapat dana untuk program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS). Bantuannya Rp 1.100 per siswa untuk jangka waktu sembilan bulan atau 108 hari makan anak. Diduga makanan yang dibeli tidak sesuai anggaran, dari seharusnya Rp 1.100 menjadi hanya Rp 300.

Menurut Luky, korupsi itu bisa terjadi karena kepala sekolah memonopoli pembuatan kebijakan, termasuk APBS. Para guru dan orangtua murid tidak dilibatkan dalam pembuatan APBS. Hal ini lah yang sering memicu praktek manipulasi dan praktek-praktek korupsi di sekolah. Demikian Luky Djani (cih)**