Warta

Institusi Pertanian Berbasis Pedesaan Perlu Dibangun Kembali

NU Online  ·  Senin, 21 Maret 2011 | 10:15 WIB

Jakarta, NU Online
Sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja dengan proporsi 40 persen, tetapi sektor ini juga yang paling lemah dan tidak memiliki daya tawar.

Pengamat ekonomi Aviliani berpendapat sektor pertanian perlu dibangun kembali, salah satunya dengan menghidupkan lembaga atau institusi terkecil di tingkat pedesaan, yang ada pada zaman Orde Baru dan terbukti mampu memberdayakan petani.<>
 
Ia mencontohkan dulu ada klompencapir, bimas, inmas, penyuluh pertanian dan lainnya yang mendukung para petani, tetapi kini tak ada dukungan lagi seperti itu. Sebagian besar petani masih lulusan SD sehingga sangat perlu pendampingan, tidak cukup dikasih modal karena akan memiliki potensi gagal dalam mengelolanya mengingat kemampuan mengelolanya.

Pembuatan kelompok tani juga membuat produksi pertanian menjadi efisien dan dapat dijual langsung ke bulog. Ia mencontohkan, Grameen Bank yang sukses di Bangladesh juga belajar dari klompencapir di Bantul.

Kebijakan pemerintah dalam subsidi juga mengalami perubahan karena subsidi pertanian diberikan ke perusahaannya, bukan langsung pada petani.

“Sekarang pupuk dan bibit disediakan swasta, kenapa pupuk langka, karena yang disubsidi perusahaannya,” katanya dalam diskusi di gedung PBNU, Senin (21/3).

Dijelaskannya, saat ini, nilai petani semakin turun sehingga pedapatan yang diterima jauh lebih rendah daripada yang diperolehnya pada masa lalu. Apalagi semakin kecil luasan tanah yang dimiliki sehingga semakin tidak efisien.

Tak heran, dengan situasi sulit seperti ini, sektor pertanian juga kesulitan dalam memperoleh pinjaman bank. Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dikucurkan pemerintah saat ini yang banyak menikmati adalah kalangan pedagang, bukan petani.

“Petani tak akan pernah bisa menikmati keuntungan, apalagi kekayaan,” tandasnya.

Berbagai persoalan pertanian tersebut disebabkan oleh UU yang dibuat ketika IMF menyetir perekonomian Indonesia, sayangnya, peraturan tersebut masih saja dipakai sampai sekarang. (mkf)