Institusi Agama Perlu Rumuskan Etika Sosial Baru Anti Korupsi
NU Online · Kamis, 14 Agustus 2003 | 11:54 WIB
Jakarta, NU Online
Institusi agama yang ada diharapkan dapat bekerjasama dan menyatu untuk merumuskan etika sosial baru yang anti korupsi, namun tidak boleh terseret pada konflik politik.
"Etika sosial baru itu adalah etika yang memandang tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai kejahatan yang harus dilawan bersama-sama," kata Guru Besar Filsafat Islam IAIN Sunan Kalijaga, Prof Dr Musa Asy’ari, di Yogyakarta, Kamis.
<>Oleh karena itu, katanya pada seminar Membangun Gerakan Anti Korupsi Dalam Perspektif Pendidikan, dalam pemerintahan yang demokratik seperti saat ini, dimana kekuasaan telah berubah menjadi urusan publik dan kebebasan politik dijamin sepenuhnya, peranan institusi sosial keagamaan perlu ditingkatkan.
Menurut dia, peranan institusi sosial keagamaan yang berhubungan secara langsung dalam melayani kebutuhan spiritual dari masyarakat menjadi amat fundamental, dan dapat diletakkan sebagai pusat perlawanan terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme.
"Melalui etika sosial baru itu, publik akan terdorong untuk senantiasa mengawasi, melaporkan, dan memberikan sanksi sosial dan agama kepada setiap orang atau kelompok, yang melakukan tindakan korupsi, kolusi, apapun bentuknya," katanya.
Dalam hal ini, diperlukan dialog-dialog keagamaan yang terbuka untuk membangun saling pengertian agar tidak dapat dimanipulasi oleh kekuatan-kekuatan politik untuk tujuan politik kekuasaan mereka, dan menyeretnya dalam konflik elit politik tersebut.
"Jika institusi sosial keagamaan itu terjebak dalam konflik politik kekuasaan, yang cenderung korup, maka agama akan menjadi korbannya dan spiritualis agama akan mati," katanya.
Sehubungan dengan hal itu, institusi agama harus dikembalikan pada tugas profetiknya untuk melakukan "amrun bil ma’ruf wa nahyun ’anilmunkar" (memerintahkan kebaikan dan mencegah kejahatan).
Tugas profetik institusi agama harus diberikan ruang yang dinamis, karena hanya dengan ini institusi agama akan memberikan kontribusinya yang positif dan konstruktif untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara kreatif.
Tugas profetik itu tidak berlawanan dengan hakekat NKRI, meskipun bisa berlawanan dengan kepemimpinan yang ada di dalamnya, terutama kekuasaaan yang zalim dan sewenang-wenang.
"Jika kepemimpinan yang zalim dan sewenang-wenang itu dibiarkan hidup berkembang dengan menyuburkan budaya korupsi, cepat atau lambat NKRI akan terkoyak-koyak, dan bila keadaan ini dibiarkan terus, institusi agama akan mudah dipolitisasi dan dimanipulasi untuk menjadi lahan tempat yang subur bagi munculnya separatisme,"
katanya.(ant/mkf)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat HUT Ke-80 RI: 3 Pilar Islami dalam Mewujudkan Indonesia Maju
2
Khutbah Jumat: Kemerdekaan Sejati Lahir dari Keadilan Para Pemimpin
3
5 Poin Maklumat PCNU Pati Jelang Aksi 13 Agustus 2025 Esok
4
Ketua PBNU Sebut Demo di Pati sebagai Pembangkangan Sipil, Rakyat Sudah Mengerti Politik
5
Kantor Bupati Pati Dipenuhi 14 Ribu Kardus Air Mineral, Demo Tak Ditunggangi Pihak Manapun
6
Khutbah Jumat: Refleksi Kemerdekaan, Perbaikan Spiritual dan Sosial Menuju Indonesia Emas 2045
Terkini
Lihat Semua