Jakarta, NU Online
Selama impor Indonesia atas minyak bumi lebih besar dibanding volume ekspornya. Sebaiknya Indonesia menimbang kembali keberadaannya sebagai anggota OPEC. Apalagi dengan kenaikan harga minyak dunia yang begitu tinggi, khususnya saat masih menjadi negara net exported saja. Indonesia dilarang menggenjot produksi melebihi kuota yang ditentukan OPEC. Keuntungan yang dihasilkan pun tidak sebanding dengan tingkat konsumsi BBM dalam negeri.
Baru-baru ini, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mengatakan, pemerintah akan merevisi harga minyak dalam APBN 2004 dari US$22 menjadi US$29-US$30 per barel. Revisi ini dianggap tetap akan memberikan rezeki nomplok kepada pemerintah sebesar US$10. Keuntungan sebesar itu dengan asumsi harga minyak dunia berada pada posisi US$40.
<>Namun rezeki berupa windfall profit minyak bumi itu, tergantung dari adil tidaknya quota produksi yang ditentukan OPEC terhadap Indonesia. Khususnya jika dibanding dengan besarnya jumlah penduduk dan total konsumsi BBM masyarakat Indonesia,”kata Bachrawi Sanusi.
Saat ditemui di rumahnya oleh NU-Online Selasa (1/5), Pengamat Perminyakan dari Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, Bachrawi Sanusi ini mengatakan, perolehan keuntungan itu menjadi tidak berarti, sebab harus digunakan untuk banyak hal; pertama, untuk mensubsidi kebutuhan BBM dalam negeri, pembagian dengan daerah, dan impor,”katanya.
Sanusi yang aktif sebagai anggota di Pusat Kajian Energi dan Sumber Daya Mineral Universitas Trisakti ini juga mengingatkan, bahwa keuntungan itu akan justru menjadi minus, bila Indonesia jelas menjadi negara net importer. “Karena dengan volume impor BBM lebih besar dari volume ekspor, berarti semua keuntungan itu harus dialokasikann untuk pembayaran impor, lalu di mana keuntungannya,”tandas Sanusi.
Analisis Sanusi ini sempat mendapat bantahan dari Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro. Menurut dia, menurunnya volume ekspor Indonesia itu tidak permanen, sebaliknya hanya bersifat sementara. Penurunan itu menurut Purnomo lebih disebabkan oleh berhentinya aktivitas eksplorasi minyak selama krisis tahun 1998.
Sanusi pun menanggapi bantahan Purnomo ini. Dia mengatakan,”Justru kuncinya di situ, jadi saya tidak pakai rumus panjang-panjang, rumus saya sederhana saja, yang namanya net importer itu secara kasar, berapa jumlah produksi minyak mentah ditambah kondensat dikurangi bagian kontraktor. Kalau ternyata volume produksinya saat ini lebih kecil dibanding impornya, bagaimana bisa disebut net exporter,”kata Sanusi memaparkan.
Sanusi pun mencontohkan, “Bila produksi minyak mentah Indonesia sebesar 1 juta barrel per hari, harus dikurangi bagian kontraktor minyak asing, khususnya sekitar 35 persen, berarti minyak mentah milik Indonesia sendiri hanya sekitar 650 ribu barrel per hari. Sementara konsumsi minyak Indonesia per hari pada tahun 2003, rata-rata per hari 1,051 juta barrel per hari,”imbuhnya.
Sanusi juga menambahkan, “Sebagai gambaran, meski per November 2003 kuota produksi Indonesia sesuai ketentuan OPEC sebesar 1,27 juta barrel per hari, ternyata produksi minyak mentah Indonesia pada Maret 2004 hanya 0,97 juta barrel per hari. Saat OPEC mematok kuota 1,22 juta barrel per hari, ternyata produksi minyak mentah Indonesia per 1 April 2004 hanya 0,98 juta barrel per hari,”papar Sanusi yang masih aktif sebagai kolomnis di berbagai media ini.
Dengan kondisi seperti itu, Sanusi mensarankan agar Indonesia keluar dari OPEC. Menurut Sanusi, bila jalan ini diambil, banyak keuntungan yang akan diperoleh Indonesia. Sanusi pun menyebutkan, Indonesia tidak lagi terikat dengan jumlah kuota, ada kemungkinan para kontraktor minyak asing merasa gembira, karena kalau dia melakukan eksplorasi di Indonesia tidak perlu takut produksinya di-cut OPEC,”katanya.
Selain itu, Indonesia juga tidak perlu harus membayar uang keanggotaan yang jelas tidak kecil,”kata Sanusi. Ahli perminyakan yang mantan Ketua Pembina Lembaga Perekonomian PBNU di masa Gus Dur ini pun mengambil Malaysia sebagai contoh. “Dengan tidak menjadi anggota OPEC, Malaysia untung besar, saat harga minyak melonjak, produksinya dipacu dan dijual sebanyak-banyaknya, dan keuntungannya pun pasti besar,”tandasnya.(Dul)
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
3
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
4
Pentingnya Kematangan Pola Pikir dan Literasi Finansial dalam Perencanaan Keuangan
5
PBNU Rencanakan Indonesia Jadi Pusat Syariah Dunia
6
Sejarawan Kritik Penulisan Sejarah Resmi: Abaikan Pluralitas, Lahirkan Otoritarianisme
Terkini
Lihat Semua