Warta

Imam Churmen: Gunakan Gabah Petani Untuk Raskin

NU Online  ·  Sabtu, 19 Maret 2005 | 10:31 WIB

Jakarta, NU Online
Untuk menghindarkan petani dari kerugian akibat melimpahnya gabah di musim panen raya, dan menyelamatkan masyarakat yang menjadi korban kekeringan, pemerintah harus membeli beras petani, baik untuk program Raskin (beras untuk orang miskin) atau untuk kekeringan. Pemerintah  jangan menggunakan beras dari hasil impor.

Demikian dikemukakan, H. Imam Churmen, mantan anggota Komisi III DPR-RI dan Pengurus Lembaga Pertanian Nahdlatul Ulama kepada NU Online, Sabtu (19/03) via telepon. 

<>

"Pemerintah jangan menggunakan beras impor untuk program Raskin. Gunakan saja beras petani dari dalam negeri, di samping untuk mencegah anjloknya harga gabah petani yang bisa diakibatkan panen raya,  kehancuran harga gabah atau beras petani juga bisa diakibatkan impor beras itu sendiri," kata Churmen yang saat ini masih aktif memperhatikan nasib petani.

Namun demikian, Churmen merasa perlu mengingatkan, usulan agar program Raskin perlu mengakses beras hanya dari beras petani lokal, bukan berarti dirinya setuju dengan kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dibuat pemerintah. "Saya tetap tidak setuju dengan kenaikan harga BBM, sebab kebijakan tersebut semakin membuat kehidupan rakyat bertambah miskin," sambungnya.

Menurut mantan ketua Himpunan Kerukunan Tani  Indonesia (HKTI) ini, mencegah kehancuran harga gabah akibat panen raya, juga tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pengadaan beras, yang sampai hari ini masih saja memberikan tempat untuk impor. Sebab, tanpa menghentikan impor, harga gabah petani bisa hancur karena kelebihan stock (persediaan) perberasan baik saat petani sedang Panen Raya maupun saat sedang musim tanam, karena dengan pengadaan melalui impor, maka suplai beras akan terus berlebihan.

"Sebenarnya dari segi penyediaan beras dari hasil pertanian, dibandingkan dengan  volume yang dikonsumsi total penduduk, Indonesia seharusnya sudah bisa swasembada. Tetapi dengan alasan ada kebutuhan untuk hotel, dan restoran. Ketika menteri pertanian tetap menolak impor beras, menteri lainnya ngotot untuk tetap mengimpor. Egoisme sektoral itu seharusnya tidak ditonjolkan, kapan masyarakat kita memiliki ketahanan pangan, kalau beras yang mampu diproduksi sendiri tetap harus diimpor," ungkapnya terheran-heran.

Untuk daerah wilayah Indonesia Timur yang sedang mengalami kekeringan, dan gagal panen, seperti Kabupaten Lembata Nusa Tenggara Timur, tambah Churmen, pemerintah bisa meminta Bulog untuk menyuplai beras. "Jangan belum apa-apa, menteri pertanian menyatakan di daerah rawan pangan tersebut sudah tersedia beras, itu pernyataan yang salah. Seorang menteri pertanian tidak seharusnya mengatakan hal itu, masih ada pejabat yang lebih tepat menjelaskan mengenai hal itu. Akui sajalah kalau memang belum cukup pangan," serunya Churmen dengan nada keras.

Menurut Churmen, sesuai dengan hasil keputusan Komisi III DPR-RI bidang pertanian periode 1999-2004, Bulog memiliki volume beras penyangga (buffer stock) sebanyak 350 ribu ton. "Jumlah tersebut memang masih jauh dari yang diperbolehkan IMF yang mematok maksimal 1 juta ton, tapi program buffer stock tersebut akan banyak manfaatnya, syukur-syukur tahun ini bisa lebih ditingkatkan," ujarnya.

Mengenai upaya beberapa Pemerintah Kabupaten (Pemkab), seperti di Magelang,  yang meminta pengusaha swasta perberasan turut serta mencegah hancurnya harga gabah petani akibat kelebihan produksi di musim panen raya yang datang dalam waktu dekat ini dengan cara membeli gabah petani, Churmen mengaku sependapat, dengan catatan semua dilakukan dengan persaingan yang sehat, bukan free fight liberalis yang justeru saling menghancurkan.

Tetapi, tokoh pertaniah NU yang sudah menggeluti dunia pertanian sejak awal tahun 1950-an ini meminta upaya Pemkab tersebut dilakukan secara lebih berhati-hati. Sebab, penimbunan beras oleh pengusaha swasta untuk pengendalian harga tetap membutuhkan gudang untuk penyimpanan. Kalau tidak punya, berarti mereka akan terbentur dengan biaya penyewaan, kalau demikian siapa yang mau rugi. Tetapi kalau dengan kondisi yang terbatas itu mereka tetap mau, kita harus mengkritisinya. "Jangan-jangan mereka hanya ingin pinjamannya dan tetap tidak mau membeli gabah petani, " ungkapnya.

Karena kekhawatiran itu, Churmen masih merasa lebih aman, bila lembaga yang ditunjuk oleh Pemkab-Pemkab tersebut adalah Bulog. Sebab, Bulog, di samping memiliki gudang penyimpanan gabah, juga bersedia diberikan pinjaman dengan