Jepara, NU Online
M Zainal Abidin, warga desa Bandungharjo, kecamatan Donorojo menyatakan dirinya nyaris bergabung dengan gerakan Negara Islam Indonesia (NII) saat masih menjadi mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Tahun 1998, ia dikenalkan teman kampus di Fakultas Tarbiyah jurusan Bahasa Arab. “Awalnya saya sebatas berkenalan dengan teman baru. Pertemuan selanjutnya saya diajak diskusi keislaman secara umum. Mulai hal ringan sampai filosofi Islam termasuk khilafah, pendirian pemerintahan Islam di Indonesia,” akunya, Ahad (1/5).
<>Untuk memantapkan diskusi itu, ia diajak si teman baru pada seseorang di Jakarta Utara yang belum diketahui seluk beluknya. Beberapa bulan kemudian lokasi di tempat itu sepi. “Saya heran karena selalu lupa alamat rumah di Jakarta Utara itu. Sehingga kalau ingin kesana mesti diantar teman,” jelasnya.
Di tempat itulah, digelar pengajian yang mengupas ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an. Utamanya ayat-ayat Jihad yang dikaji mendalam tentang latar belakang sampai pada kesimpulan, Umat Islam wajib berjuang atas nama membela Islam. Hasil dari pengajian itu, satu persatu diuji tentang keislamannya. Baik dalam pemahaman fikih sehari-hari sampai pada perubahan karakter.
Pada suatu hari, ia diajak ke suatu tempat dengan mata tertutup untuk pembaitan. Oleh mereka dinamakan hijrah. “Sepanjang perjalanan kami mengobrol dengan mata tertutup. Walaupun mata tertutup kami tidak merasa terganggu dalam berdiskusi. Oleh para senior dalam sepanjang perjalanan kami tidak dibiarkan bengong,” ungkapnya.
Sampai di suatu tempat dirinya bingung. Sebab yang ia ketahui dirinya dibawa ke sebuah rumah dengan hawa dingin. Beberapa diantara mereka lantas berceramah untuk prosesi pembaitan.
Menjauh
Zainal akhirnya tidak meneruskan kegiatan itu walau telah disebut kafir. Pertimbangan ia keluar adalah ajaran mereka menyimpang dari Islam secara umum terutama term rahmatan lil ‘alamin, melindungi seluruh manusia tidak memandang suku, agama dan ras. Oleh mereka halal bagi umat Islam untuk memerangi nonmuslim.
Pertimbangan kedua, ada kewajiban bersedekah atau memberikan dana perjuangan untuk orang yang belum dikenal. Pertimbangan ketiga, halal berseberangan dengan orang tua kandung. Termasuk memaksakan kehendak untuk mengikuti ajaran tersebut dalam rangka menguatkan Negara Islam.
Ketika gerakan NII sedang digembor-gemborkan di media, ia pun akhirnya sadar. “Saya akhirnya membuang nomor telepon dan pulang kampung untuk menghindari orang-orang yang mengenalkan saya pada ajaran radikal tersebut,” imbuhnya yang sebelumnya tinggal di Bekasi, Jakarta Barat.
Kini sekembalinya ke kampung halaman lelaki 35 tahun, suami dari Nur Saidah yang telah dikaruniai dua anak itu aktif di organisasi sosial dan keagamaan semisal Gerakan Pemuda (GP) Ansor maupun Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Ia berharap kepada masyarakat jika suatu ketika mengalami hal serupa agar secepatnya menghindar. (qim)
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Perempuan Hamil di Luar Nikah menurut Empat Mazhab
3
Pandu Ma’arif NU Agendakan Kemah Internasional di Malang, Usung Tema Kemanusiaan dan Perdamaian
4
Saat Katib Aam PBNU Pimpin Khotbah Wukuf di Arafah
5
360 Kurban, 360 Berhala: Riwayat Gelap di Balik Idul Adha
6
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
Terkini
Lihat Semua