Warta

Iklan Freedom Institute Menyesatkan

NU Online  ·  Kamis, 3 Maret 2005 | 03:55 WIB

Jakarta, NU Online
Pencabutan subsidi BBM bukan cara yang tepat untuk mengatasi ketidakadilan pemberian subsidi  bahan bakar minyak (BBM) yang alokasinya lebih banyak diterima sektor industri dibanding masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ketidakadilan tersebut seharusnya diatasi dengan landasan aturan main dan pengawasan yang ketat  untuk  meningkatkan efisiensi keuangan negara.

Demikian kesimpulan yang disarikan dari hasil wawancara NU Online dengan Pakar Ekonomi Politik Ichsanuddin Noorsi dan Direktur Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK-UGM) Dr. Ir. M. Maksum,M.Sc, Kamis (2/03) via handphone.

<>

Dalam wawancara, keduanya juga mempertanyakan tentang gerakan sejumlah kalangan yang telah memanfaatkan pengaruh intelektualnya untuk mendukung kebijakan pencabutan subsidi BBM dengan memasang iklan atas nama Freedom Institute (Kompas, 26/2).   

“Terlepas dari mana mereka mendapatkan sumber dana untuk memasang iklan sebesar itu, tetapi hal itu harus dipertanggungjawabkan sebab rakyat menjadi pihak yang paling mereka lukai,” kata Ichsanuddin Noorsi mantan anggota DPR-RI yang juga komisaris independen perbankan swasta ternama di Jakarta. 

Ketika ditanya apakah benar bahwa dukungan para intelektual kepada Pemerintah dalam menaikkan harga BBM bagian dari upaya membersihkan hambatan (barriers) atas pelaksanaan pasar bebas atau liberalisasi pasar, Ichsan hanya mengungkapkan bahwa tindakan mereka justeru mendorong pemindahan surplus perekonomian secara besar-besaran ke asing. Padahal, kata Noorsi, rakyat telah bersusah payah mengumpulkan surplus itu melalui kegiatan-kegiatan ekonomi selama bertahun-tahun. “Jadi dengan dinaikkannya harga BBM, rakyat akan semakin menderita, bohong bila kenaikan BBM justeru akan menurunkan angka kemiskinan. Data-data yang dibuat mereka itu jelas menyesatkan,” tandasnya.

Menurut Noorsi, mereka yang telah membuat dukungan atas nama Freedom Institute itu memang menganggap pasar bebas sebagai segala-galanya. Dia pun lantas mengatakan bahwa pandangan seperti itu akan selalu dijunjung oleh mereka yang memeluk ideology pasar bebas sebagaimana dikemukakan Ekonom kaliber internasional, Joseph Stiglitz.

“Ujung-ujungnya  adalah mereka menginginkan dominasi atau monopoli perekonomian dalam satu tangan dengan
jalan liberalisasi,” paparnya.

Akibatnya, imbuh Noorsi, rakyat telah dijadikan Pekerja Rodi atau pekerja paksa, karena mereka terpinggirkan oleh proses liberalisasi, sementara kekuatan asing memonopoli semua sektor ekonomi dan mengendalikan lembaga-lembaga politik.
 
“Celakanya, orang-orang yang mengaku intelektual justeru turut membuka jalan pemiskinan oleh liberalisme pasar itu,” ungkapnya, mengomentari perilaku sejumlah intelektual ternama seperti Ulil Abshar Abdalla, Gunawan Moehammad, Rizal Malarangeng, Nono Anwar Makarim dan masih banyak yang lain yang mengiklankan dukungannya untuk mendukung kenaikan harga BBM.

Tanggapan yang senada juga diungkapkan M. Maksum, bahwa dia mengakui ada ketidakadilan dalam pemberian subsidi BBM, tapi untuk mengatasinya tidak harus dengan mencabut subsidi. Pencabutan subsidi itu justeru menimbulkan pemiskinan baru, sebab pengalihan subsidi ke sektor kesehatan dan pendidikan tetap tidak sebanding dengan peningkatan biaya konsumsi barang dan jasa akibat kenaikan BBM itu.

“Jadi, saya lantas bertanya-tanya bagaimana mereka bisa menjadi ‘tukang stempel’ kebijakan yang bisa menjebak masyarakat dalam kemiskinan yang lebih besar,” imbuh pengamat ekonomi pertanian yang juga wakil ketua pengurus wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) D.I. Yogyakarta ini.

Karena kebijakan pengentasan kemiskinan yang diikuti dengan pemiskinan baru yang lebih besar itu, staf pengajar di jurusan teknologi industri pertanian UGM ini lantas menganjurkan para intelektual dari Freedom Institute itu untuk tidak terlalu mengedepankan rasionalitas ekonomi. Sebaliknya, ekonom yang meraih gelar doktoral dari University of Philippine at Los Banos ini mengajak mereka untuk lebih mengedepankan semangat sosial politik untuk mengatasi ketidakadilan itu. 

“Mari kita dorong agar subsidi diatur dan diawasi secara lebih baik dan diikuti dengan efisiensi keuangan negara, karena uang negara yang dikorup oleh birokrasi selama ini lebih besar dibanding yang dialokasikan untuk subsidi pendidikan maupun kesehatan,” ajaknya.

“Kalau untuk rekonstruksi Aceh dan Nias dialokasikan anggaran sebesar Rp 40 triliun, maka pembiayaan pendidikan sebesar Rp 90 triliun selama 5 tahun tentu bisa dilaksanakan bila ada semangat sosial politik untuk efisiensi keuangan negara,” tambah Maksum. 

Sementara itu, menurut Noorsi, bila