Gus Sholah: Ayah Mengajarkan Keterbukaan
NU Online · Sabtu, 30 April 2011 | 11:15 WIB
KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) menuturkan, ayahnya mengajarkan sikap keterbukaan terhadap keluarganya. Meskipun usianya pendek, sikap ini telah ditanamkan kepada ibunya, yang selanjutnya ditransfer kepada anak-anaknya.
Semasa kecil, keluarganya telah diperkenalkan pada komunitas non muslim dengan harapan agar memiliki pergaulan yang luas. “Kita diharapkan bisa bergaul dengan semua orang,” katanya dalam acara Seabad KH A Wahid Hasyim di Jakarta, Sabtu (30/4).<>
Kiai Wahid Hasyim juga merupakan tokoh pengkader yang luar biasa. Banyak orang yang diajaknya masuk dalam Masyumi. KH Syaifuddin Zuhri merupakan orang yang dikader, ketika ia melihat tulisannya di sebuah media yang luar biasa, lalu ia difasilitasi dari Purwokerto ke Jakarta.
“Beliau tidak takut tenggelam karena kebesaran orang lain. Kalau orang sekarang kan banyak yang mau muncul sedikit saja sudah dipites (dimatikan). Karena itulah, kita membutuhkan tokoh seperti beliau, yang mampu mempromosikan orang-orang terbaik” terangnya.
Ayahnya juga bisa meisahkan hubungan pekerjaan dan perkawanan. Suatu ketika terdapat anak buahnya yang terkena masalah keuangan dan telah diperiksa, sebuah badan seperti KPK saat ini. Sang teman dibantu uang untuk membayar, tetapi sebagai atasan ia tetap memecatnya.
Keberanian yang dimiliki juga sangat menonjol. Suatu ketika Van Der Plas, tokoh Belanda berkunjung ke pesantren Tebu Ireng dan direncanakan untuk ditembak untuk menarik perhatian internasional, tetapi rencana tersebut gagal karena sang penembak takut tembakannya mengenai Wahid Hasyim. Begitu diberi tahu soal itu, ia marah karena jika memang tertembak, ini sudah merupakan bagian dari perjuangan.
Gus Sholah mengakui, kebesaran yang dimiliki ayahnya, merupakan gabungan dari kemampuan dan kesempatan yang dimiliki. KH Hasyim Asy’ari yang diangkat sebagai kepala Shumubu atau Kantor Urusan Agama oleh pemerintah Jepang. Karena tidak bisa meninggalkan pesantren, maka ia menugaskan Wahid Hasyim untuk menjalankan tugas-tugas yang diperlukan. Disitulah ia memiliki kesempatan untuk bergaul dengan para tokoh nasional dan potensinya bisa terus dikembangkan.
Dikatakannya, kecerdasan dan kemampuan ayahnya sudah terlihat sejak usia muda. Pada tahun 1940, ia sudah menjadi ketua LP Maarif NU dan telah mampu menyusun strategi dan langkah ke depan dengan sistematis dan organisatoris, padahal usianya waktu itu baru 26 tahun.
“Banyak yang bisa dipelajari dan diteladani dari beliau,” terangnya.
Satu hal yang agak disesali adalah kebesaran KH Wahid Hasyim tertutupi oleh kebesaran KH Hasyim Asy’ari dan Gus Dur, padahal ia juga tokoh besar. (mkf)
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Perempuan Hamil di Luar Nikah menurut Empat Mazhab
3
Pandu Ma’arif NU Agendakan Kemah Internasional di Malang, Usung Tema Kemanusiaan dan Perdamaian
4
Saat Katib Aam PBNU Pimpin Khotbah Wukuf di Arafah
5
360 Kurban, 360 Berhala: Riwayat Gelap di Balik Idul Adha
6
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
Terkini
Lihat Semua