Gerakan Fundamentalisme Islam Menjadi Lebih Politis
NU Online · Jumat, 17 Juni 2005 | 04:22 WIB
Jakarta, NU Online
Gerakan-gerakan fundamentalisme Islam sekarang tidak lagi bersifat skripturalistik atau dimaksudkan untuk memurnikan Islam (purifikasi) tetapi berubah menjadi lebih politis dengan berusaha menerapkan ajaran yang selama ini belum terealisasikan.
"Dalam gerakan ini yang menjadi dasar adalah bagaimana Islam menjadi dasar hukum kenegaraan. Gerakannya politis ke arah bagaimana memegang kekuasaan sehingga syariat Islam bisa dilaksanakan secara penuh," kata Sekjen PBNU Dr Endang Turmudi dalam Peluncuran Buku "Islam dan Radikalisme di Indonesia" di Jakarta, Kamis.
<>Gerakan fundamentalis yang muncul di masa pasca Orde Baru itu berkaitan dengan situasi politik pada masa itu yang menimbulkan rasa ketidakpuasan yang meluas serta kegagalan pemerintah untuk menyelesaikannya, ujarnya.
Kelompok-kelompok Islam itu, ujar penulis buku hasil penelitian satu tahun itu, melihat Islam adalah jalan keluar yang tepat yang merupakan anugerah Tuhan dan pada saat bersamaan tidak percaya lagi kepada para pemimpin yang telah mapan sehingga mereka merasa harus membangun sendiri kepemimpinan yang baru.
Bahkan ada sebagian dari mereka lebih pada upaya memformalkan syariat Islam melalui keputusan politik dengan mendirikan negara Islam atau lebih jauh mendirikan kekhalifahan Islam, kata Endang yang menulis buku itu bersama pakar politik Timur Tengah Riza Sihbudi.
"Namun, fundamentalisme Islam tidak perlu disikapi secara apriori apalagi dengan sikap fobia karena mereka justru menawarkan alternatif visi pembangunan di tengah kegagalan sistem yang selama ini digunakan," katanya.
Kaum fundamentalisme Islam, lanjut Endang, tidak akan memaksa kaum minoritas non muslim untuk menjadi Islam atau mengikuti ajaran Islam, bahkan sifat radikal yang menginginkan perubahan mendasar pun hanya sebagai ide dalam pemikiran yang diperjuangkan tanpa menggunakan kekerasan.
"Mereka justru mengutuk aksi kekerasan dengan mengatasnamakan Islam karena dianggap tak sesuai dengan doktrin Islam," katanya.
Sementara itu, Pakar Politik Dr Bachtiar Effendi yang dalam kesempatan itu menjadi pembahas, mengatakan, di AS dan Eropa Barat, buku-buku yang berbicara mengenai terorisme pada akhirnya memiliki kesimpulan yang sama, bahwa sumber terorisme adalah gerakan Wahabbi yang berawal di Arab Saudi.
"Sayangnya semua penulisnya orang Yahudi," katanya dengan memberitahu bahwa ia bukanlah seorang rasis atau anti semit.
Menurut dia, kesimpulan tersebut menyesatkan karena terlihat ada semacam transformasi pemikiran yang aneh dari buku-buku tersebut, gerakan Wahabbi selama ini, ujarnya, tak pernah terkait dengan kekerasan, dan hanya menekankan pemurnian Islam ke masa Rasul hingga generasi ketiga para sahabat.
Radikalisme itu sendiri, lanjut Bachtiar, adalah sesuatu yang netral. Ia mencontohkan, ketika mahasiswa menumbangkan mantan Presiden Soeharto mahasiswa telah melakukan hal yang radikal, karena tanpa radikalisme, rezim Soeharto tidak akan jatuh.
Pernyataan bahwa Islam "yang ini" adalah moderat berarti seolah menyatakan bahwa Islam yang lain adalah radikal, Islam yang keras, Islam yang tidak baik dan terminologi seperti itu harus dihindari.
"Jika berbicara soal agama, kita tidak pernah bisa memberi penilaian akhir karena semua bersifat spekulatif, tergantung konteks tempat gerakan itu berkembang, kapan, dalam situasi seperti apa, latar belakangnya apa, dan lain-lain," kata Bachtiar.
Sedangkan Pengamat Timur Tengah Riza Sihbudi mengatakan, fundamentalisme Islam di berbagai belahan dunia terkait erat dengan reaksi politik dari sepak terjang hegemoni negara adidaya.
Bahkan banyak kecurigaan ada konspirasi terselubung antara intelijen Amerika Serikat dengan kelompok-kelompok teroris, seperti pengkaitan pimpinan Al Qaeda Osama bin Laden yang dahulu justru merupakan binaan intelijen AS dan bersekutu melawan Uni Sovyet. Osama, lanjutnya, hingga kini belum juga tertangkap.
Sementara itu Pengamat Politik lainnya dari UI Achmad Suhelmi, mengatakan, doktrin Islam sebenarnya defensif yang hanya mengizinkan berperang ketika diperangi, itupun tidak boleh berlebihan, sehingga tidak heran kalau aksi pemboman yang mengatasnamakan Islam justru dikutuk.
Islam, ujarnya, adalah agama yang mencerahkan (enlighten) dan paling kuat memberi prinsip dan substansi pembebasan.(ant/mkf)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menggali Hikmah Ibadah Haji dan Kurban
2
Khutbah Jumat: Menggapai Pahala Haji Meskipun Belum Berkesempatan ke Tanah Suci
3
Niat Puasa Dzulhijjah, Raih Keutamaannya
4
Pengrajin Asal Cianjur Sulap Tenda Mina Jadi Pondok Teduh dan Hijau
5
Khutbah Jumat: Persahabatan Sejati, Jalan Keselamatan Dunia dan Akhirat
6
Prabowo Serukan Solusi Dua Negara agar Konflik Israel-Palestina Reda
Terkini
Lihat Semua