Warta

Film sebagai Strategi Pengembangan Budaya

NU Online  ·  Rabu, 7 Mei 2008 | 01:06 WIB

Jakarta, NU Online
Film Indonesia lahir dari perjuangan, perjuangan kemerdekaan dari penjajah dan perjuanagan pembebasan dari berbagai keterbelakanagan. Demikian disampaikan Arief Mudatsir Mandan di sela Diskusi yang bertemakan Mencari Wajah Film Indonesia yang diselenggarakan oleh Lingkar Imajika di sanggar Teater Populer Jakarta.

Karena itu untuk membangkitkan film Indonesia, perlu dikembalikan ke khittah perfilman sendiri. Film dibangun berdasarkan persoalan bangsa sendiri, tema bangsa sendiri dan juga bahasa bangsa sendiri.<>

Sementara, film Indonesia saat ini tercerabut dari akar tradisi, terpisah dari air yang menghidupi, terpisah dari udara yang dihirup terpisah dari matahari yang menyinari dan terpisah dari bumi yang dipijak dan terpisah dengan masyarakat.

“Masa film Indonesia dari judulnya saja hampir semuanya berbahasa asing, cara komunikasi dan pergaulannya pun sudah kebarat-baratan, itu pun berupa imitasi sehingga tidak mencerminkan keaslian, penuh kepura-puraan. Sementara, pemirsa kita dan pemirsa asing ingin melihat ke-Indonesia-an yang asli,” terang Arief.

Film-film yang dibuat sembarangan seperti itu tidak hanya menipu, tetapi juga melecehkan akal sehat masyarakat, bahkan seringkali visualisasi yang tidak tepat malah membunuh imajinasi pemirsa. Film semacam itu menurutnya telah kehilangan misi, karena tidak memiliki visi yang jelas dalam pembuatannya. Walaupun film itu barang hiburan, tetapi visi-misinya harus jelas, sehingga bisa menimbulkan efek yang dimaksudkan dalam masyarakat pemirsanya.

Arief bersama sutradara Slamet Rahardjo Djarot dan bintang film Alex Komang membentuk Lingkara diskusi ini. Pertemuannya sendiri disebut dengan Srawung Kreatif, sebagai upaya untuk mengkomunikasikan kembali kekuatan yang berserak.

Menurut Arief menggunakan film sebagai strategi pembangunan bangsa sangat strategis tetapi ini sering diabaikan, di situlah perlunya dirumuskan strategi kebudayaan, sehingga jelas tugas dan peran masing masing sector kehidupan. Dengan adanya strategi kebudayaan maka orang tidak lagi aneh melihat film sebagai sarana pendidikan, film sebagai sarana pembentukan karakter bangsa dan menjadikan film sebagai sarana untuk menembangun citra bangsa dihadapan bangsa yang lain.

Sebagai politisi yang sehari-hari menangani masalah politik luar negeri dan pertahanan keamana, Arief masih meluangkan waktu untuk memperhatikan masaklah seni budaya, karena menurut kader NU asal Jepara ini, membangun kesenian ini terkait juga soal ketahanan budaya. Kalau budaya kita sudah luntur diserobot oleh kebudayaan lain, sehingga film kita sudah tidak merujuk pada budaya sendiri bahasa sendiri, ini berarti ketahanan budaya kita lemah dan itu perlu kita perkuat, dengan membangun budaya terutama film yang berbasis pada budaya dan bahasa sendiri. Ini namanya film Indonesia, karena jelas rujukannya dan jelas pula karakter atau wataknya.

Dengan adanaya film yang berkarakter inilah kita bisa berhadapan setara dengan film bangsa lain, dan bisa bersaing dengan mereka. Film gado-gado dan dengan tema-tema gedongan serta penggarapan yang asal-asalan itu tidak hanya tidak mampu bersaing dengan film bangsa lain, di dalam negeri sendiri sudah tidak mampu bersaing. Di sinilah Arif mengajak semua prktisi seni terutama kalanagan seneas untuk membangun kembali film nasional, sebagai bagian untuk membangun bangsa. Apalagi saat ini kita sedang memperingati seratus tahun kebanglitan Bangsa Indonesia. Ini momentum yang tepat. (mdz)