Warta RUU JAMINAN PRODUK HALAL

Fatwa MUI, Administrasi Depag

NU Online  ·  Selasa, 11 Agustus 2009 | 07:23 WIB

Jakarta, NU Online
Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal yang saat ini tengah dibahas DPR menjadi polemik karena didalamnya terdapat ketentuan bahwa pengelolaan jaminan produk halal berada di tangan Departemen Agama, padahal pengelolaannya selama ini sudah ditangani Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas Islam) Depag Prof Dr Nasaruddin Umar menjelaskan, RUU ini sama sekali tidak meninggalkan peran MUI, karena Departemen Agama hanya mengambil alih masalah administrasinya saja.<>

“Keinginan pemerintah mengambilalih hanya menyangkut administrasinya, tetapi menyangkut fatwanya, tetap wewenang MUI, jadi MUI tidak akan ditinggal,” katanya kepada NU Online, Selasa (11/8).

Dijelaskannya, sertifikasi produk halal sudah berjalan dibawah wewenang MUI selama lebih dari 20 tahun, tetapi sampai saat ini belum banyak produk yang mendapatkan sertifikasi sehingga perlindungan terhadap masyarakat kurang.

“Kenapa MUI tidak melakukan ekspansi, karena kita harus tahu, MUI tidak punya kekuatan pemaksa, MUI tidak punya polisi, organ struktural yang sampai tingkat detail, kemudian secara kelembagaan, dalam hukum ketatanegaraan, MUI tidak punya tempat seandainya diambilalih pemerintah,” imbuhnya.

Keuntungan lainnya jika administrasinya dikelola Depag adalah anggaran pembiayaannya masuk dalam APBN sehingga MUI tidak perlu memikirkan biaya operasional, apalagi Depag memiliki jaringan sampai di tingkat bawah.

Ditambahkannya, hubungannya dengan fihak luar akan semakin mudah dalam pengelolaan jaminan produk halal karena MoU, selalu antar pemerintah, sedangkan jika dikelola MUI, dianggap sebagai lembaga non pemerintah.

Katib Aam PBNU ini berpendapat keberadaan UU Jaminan Produk Halal sangat penting untuk melindungi masyarakat. “Niat pemerintah melindungi warganya, bukan mencari keuntungan. Malah Negara nantinya yang mengurusi, kalau MUI tak mungkin mensubsidi, tetapi kalau kita nanti mengelola, di PNS kan staffnya, Negara yang emmbayar, sehingga biaya kemurahan. Kepercayaan luar negeri juga semakin bagus,” terangnya.

Jika UU ini sudah disahkan, maka pengusaha tidak bisa main-main dalam melakukan pelanggaran karena pemerintah memiliki alat pemaksa, yaitu aparat hukum, sementara kekuatan MUI hanya bersifat himbauan.

“Mau ikut, ya monggo, kalau nga ya nga papa, tapi kalau UU berbicara, ada sanksi, MUI boleh nga memberikan sanksi, ini artinya dengan adanya jaminan paroduk halal, eksistensi umat jauh lebih kuat tanpa mengurangi peran MUI,” imbuhnya.

Mengenai struktur organisasinya, Nasaruddin menjelaskan sejauh ini belum disepakati, apakah berada di bawah Depag, dibawah eselon I atau badan, atau berbentuk Badan Layanan Umum (BLU), masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. ‘Berdasarkan pertimbangan fihak netral, untuk sementara diampu dulu oleh Depag. Fasilitas ada, jaringan sampai ke bawah juga ada,” paparnya. (mkf)