Jakarta, NU Online
Puasa bukanlah sekadar menahan makan dan minum sejak fajar hingga terbenam matahari tapi esensi puasa adalah sebuah kesadaran sosial untuk membantu kaum dhuafa' dan peduli terhadap sesama.
"Kesadaran sosial artinya tidak ikhlas terhadap penindasan, peka terhadap ketimpangan sosial, dan meletakkan keberpihakan kepada kaum lemah. Serta melepaskan manusia dari keterasingan-keterasingan terhadap dunianya sendiri," ungkap ketua umum PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (PP LDNU) KH Ah. Nuril Huda dalam bincang-bincang dengan NU Online di ruang kerjanya beberapa waktu yang lalu.
<>Dirinya memberi contoh misalnya banyak orang rajin puasa tapi melakukan korupsi. Banyak orang berpuasa tetapi melakukan kebohongan publik. Cobalah kita mawas diri terhadap puasa kita masing-masing, pasti timbul pertanyaan, "Puasa saya yang seperti ini, bisakah menjamin masuk surga?'' Karena dalam ajaran agama tidak disebutkan dengan jelas tentang makna puasa yang seperti apa, yang menjamin seseorang masuk surga.
Maka dalam puasa itu, kata mantan anggota DPR FKB seyogyanya seseorang melakukan refleksi diri, evaluasi diri, dan analisa terhadap apa yang dilakukan selama hidup, "jangan puasa hanya dijadikan kedok untuk berbuat jahat dan melindungi diri dari perbuatan tercela. Ini terutama didasarkan kepada orang yang tidak pernah mengadakan refleksi atas puasa yang bisa menjamin seseorang masuk surga," tegas jebolan pesantren Langitan ini.
Dijelaskannya, akibat dari "pengkeroposan makna" ini, pemikiran dalam Islam menjadi sangat sempit bahkan terbengkalai. Akibat yang lebih parah lagi akan menjadikan Islam sebagai "agama gulma'', orang memandangnya dari luar kuat tetapi keropos. "Ini harus diakui, karena itu menjadi tugas kita sebagai hamba Allah untuk selalu meningkatkan ketaqwaan dalam beribadah, beramal, dan berfikir," ujar salah seorang pendiri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini.
Pada bagian lain dia mengatakan, rendahnya penghayatan beragama yang dilakukan juga dapat memicu terjadinya "split personality", agama hanya di jadikan kosmetik pelengkap pergaulan yang kering dari makna. Seluruh niatan ibadah hanya ditujukan untuk capaian materialisme, nafsu kebendaan dan pujian. Karena itu menurutnya, jika dilihat kerusakan moral di Indonesia tidak terlepas dari terjadinya kemerosotan pemahaman agama. Orang sudah merasa sebagai orang Islam, jika sudah melakukan ibadah ritual tanpa dibarengi ibdah sosial.
Secara epistemologi, ibadah baik ritual maupun sosial seharusnya menggambarkan nilai keimanan seseorang. Salat misalnya, adalah sarana komunikasi dengan sang pencipta. Jadi bukan hanya pekerjaan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, tetapi lebih kepada pekerjaan hati yang secara total menyerahkan diri kepada Allah. Jika seseorang yang sudah melaksanakan salat tetapi dia membiarkan penindasan dan ketidakadilan terjadi di depan mata, maka dia belum bisa dikatakan sudah salat.
Lebih lanjut Nuril Huda menjelaskan, seluruh aktivitas ibadah hakikatnya adalah seluruh totalitas kehidupan kita mulai dari lahir sampai mati. Salat, puasa dan ibadah lainnya hakikatnya harus bisa mencegah dari perbuatan fakhsya dan mungkar."Inilah esensi ibadah yang sebenarnya," imbuhnya mengakhiri pembicaraan. (Cih)
Terpopuler
1
Guru Madin Didenda Rp25 Juta, Ketua FKDT: Jangan Kriminalisasi
2
Khutbah Jumat: Meneguhkan Qanaah dan Syukur di Tengah Arus Hedonisme
3
Gus Yahya Dorong Kiai Muda dan Alumni Pesantren Aktif di Organisasi NU
4
MK Larang Wamen Rangkap Jabatan di BUMN, Perusahaan Swasta, dan Organisasi yang Dibiayai Negara
5
Pemerintah Perlu Beri Perhatian Serius pada Sekolah Nonformal, Wadah Pendidikan Kaum Marginal
6
KH Kafabihi Mahrus: Tujuan Didirikannya Pesantren agar Masyarakat dan Negara Jadi Baik
Terkini
Lihat Semua